Minggu, 21 Februari 2016

Kisah si Pongo (dimuat di Kompas)

Taraaa! Ini dia, cernak pertama ku di Kompas. Selamat membaca ^_^
Ini versi aslinya, karena ada sedikit bagian yang diedit oleh Kompas.

***


Kisah si Pongo 
Oleh : Vina Maria. A

Pongo adalah anak Orangutan Sumatera, usianya baru menginjak lima tahun. Setelah berusia enam tahun, barulah Orangutan  hidup mandiri. Pongo pun masih tinggal bersama Ibunya.
“Hoam,” Pongo menguap sambil meregangkan tangannya. Enak sekali rasanya bangun tidur setelah lelah bermain. Lho, Ibu belum pulang dari mencari makanan? Seharusnya tadi aku ikut dengan Ibu. Gara-gara terlalu asyik bermain, aku malah tidur bukannya belajar mencari makanan.
Tak beberapa lama, Ibu Pongo pun datang. “Maaf, Ibu pulang terlambat. Ini Ibu bawa pisang untukmu. Pongo pasti sudah lapar.”
Pongo mengangguk. Tapi kenapa hanya pisang? Biasanya Ibu juga membawa rambutan, manggis kadang durian. Ah, biarlah. “Ibu, kenapa lama mencari makanannya?” tanya Pongo sambil mulutnya penuh dengan  pisang.
“Kali ini, Ibu harus berjalan agak jauh dari biasanya,” jawab Ibu Pongo.
**
Keesokan paginya, sayup-sayup Pongo mendengar suara menderu. Suara apakah itu? Pongo tidak pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya di hutan. Tiba-tiba badannya diguncang-guncangkan oleh Ibu.
“Pongo, Bangun! Kita harus segera pergi dari sini!” teriak Ibu.
Pongo mengikuti saja perintah Ibu. Mereka pun keluar dari sarang dan mulai bergelayutan dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Beberapa Orangutan juga ikut berpindah tempat. Kini suara menderu yang Pongo dengar sebelumnya berhenti, Pongo yang penasaran menoleh ke belakang. Sebuah pohon besar di ujung sana, perlahan-lahan jatuh. Dan “bumm” suaranya sangat keras ketika menghantam tanah. Pongo terlonjak kaget, kenapa pohon besar itu bisa tumbang?
“Ayo, Pongo! Cepat!” teriak Ibu.
**
“Sepertinya di sini aman.” Ibu Pongo lalu membuat sarang untuk mereka berdua.
 “Ibu, kenapa kita harus cepat-cepat pindah? Lalu kenapa pohon-pohon besar bisa tumbang?” tanya Pongo kemudian.
Ibu menghela napas panjang, “Itu karena ulah manusia. Jika kita tidak segera pindah, pohon yang kita tinggali juga akan tumbang. Lalu Ibu dan Pongo  akan ditangkap oleh manusia.”
“Kenapa mereka menebang pohon, Bu? Pohon kan bisa menghasilkan buah, menampung air, buat udara sejuk, juga tempat Pongo bermain,” Pongo bingung.
Ibu hanya menggeleng pelan.
Pongo masih penasaran, “Lalu kenapa kita ditangkap manusia, Bu?”
“Entahlah, yang Ibu tahu, mereka juga menangkap Harimau Sumatera dan Macan Tutul. Karena itu, kita sudah jarang melihat mereka sekarang.” jawab Ibu sedih.
Berarti manusia sangat kuat, Harimau Sumatera dan Macan Tutul saja bisa ditangkap oleh mereka. Tapi, apakah semua manusia itu jahat? Pongo bertanya-tanya. Pongo akhirnya pergi tidur. Dalam tidurnya, Pongo bermimpi makan beraneka macam buah-buahan segar.
**
Sudah beberapa hari ini Pongo  hanya makan dedaunan dan sedikit serangga. Karena banyak pohon ditebang, mencari buah-buahan jadi semakin sulit. Mau tidak mau Pongo harus makan apa yang ada.
“Ibu, kapan Pongo bisa makan buah-buahan lagi?” tanya Pongo.
“Ibu juga belum tahu. Yuk, ikuti Ibu,” ajak Ibu.
Pongo pun mengikuti Ibu yang memanjat sampai ke puncak pohon.
“Itu, lihat di sana!” Ibu menunjuk ke sebelah kanan. Hutan tempat tinggal Pongo dulu, kini menjadi hamparan tanah yang luas. Lalu Pongo menengok ke sisi lain di belakang Pongo. Ada pepohonan di sana, walau tidak banyak. Tapi itu pohon buah-buahan, Pongo mengenalinya.
“Itu, Bu, di sana! Kita bisa mengambil makanan di sana!” Pongo berteriak kegirangan.
 Ibu terdiam sejenak, “Itu perkebunan milik manusia, Nak.”
**
Pongo senang, Ibu berhasil dibujuk untuk mengambil makanan dari perkebunan manusia. Hanya saja Pongo tidak boleh ikut. Pongo menatap buah-buahan di hadapannya lalu makan dengan lahap.
Besoknya, Ibu belum juga pulang dari mencari makanan, padahal hari sudah gelap. Pongo panik, jangan-jangan terjadi apa-apa sama Ibu. Hari semakin larut, Pongo pun tertidur.
Paginya, Ibu masih belum pulang. Pongo nekat  pergi ke perkebunan untuk mencari Ibu. Sampai disana, Ibu tidak juga ditemukan. Pongo malah melihat sosok manusia yang membawa benda panjang. Apa itu? “Dorr!” Pongo kaget dan segera berlari ketakutan. Ah, lengan bagian atas Pongo sakit. Tapi Pongo terus melesak masuk ke hutan. Rupanya lengannya terluka, diambilnya selembar daun untuk menutupi lukanya. Dengan lengannya yang sakit, Pongo tidak bisa memanjat pohon. Pongo terus saja berjalan sampai akhirnya tak sadarkan diri.
**
Pongo membuka matanya. Ada di mana ini? Dilihat luka di lengannya telah dibalut kain putih. Lalu tak lama datanglah seorang manusia. Pongo ketakutan, tapi manusia itu tersenyum ramah pada Pongo. Bahkan, menggendong Pongo dengan lembut, lalu membawa Pongo keluar. Di luar,  Pongo melihat banyak pohon dan banyak Orangutan sedang bergelayutan dengan wajah gembira.

Rupanya saat ini, Pongo berada di tempat perlindungan Orangutan, tepatnya di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara.  (selesai)

Dibalik Kisah si Pongo

Setelah di akhir tahun kemarin, karyaku pecah telur di Nubi, awal tahun ini kembali cerpen anak karyaku muncul di media. Masih dimuat di koran Kompas, tapi bukan di kolom Nusantara Bertutur, melainkan di cerita anak Kompas. ^_^

Saya masih mengingat dengan jelas proses pembuatan naskahnya, karena memang berkesan di hati. Auw :D
Apalagi cerpen ini adalah cerpen pertama yang saya kirim ke Kompas dan langsung dimuat. Hehe
Dan  juga fabel atau dongeng binatang pertama yang saya buat. Yeayy! Puji Tuhan ^_^

Cerpen ini saya buat ketika saya mengikuti kelas singkat menulis dongeng bersama Pak Bambang Irwanto. Masing-masing murid bebas menentukan dongeng apa yang mau ditulis, karena memang dongeng itu ada banyak jenisnya. Ada dongeng peri dan kurcaci, dongeng klasik, dongeng realis, dongeng binatang dan dongeng futuristik.Kurang dari satu minggu, kami harus menulis naskah dongeng kami.

Pada saat yang bersamaan, saya juga sedang mengikuti kelas menulis anak Merah Jambu di bawah asuhan Bu Nurhayati Pujiastuti. Saya ingat, kelas Merah Jambu sudah memasuki minggu ke-6 dan materi minggu ke-5 adalah materi bagaimana menulis sebagai sarana terapi untuk memulihkan perasaan sakit. Materi yang sulit buat saya, 2 cerpen anak yang saya buat tidak sempurna. Yang pertama nyawanya mirip dengan cerpen buatan Bu Guru, sedangkan yang ke-2 malah tidak bernyawa meskipun isi ceritanya bagus.

Nah, saya putuskan untuk menulis dongeng binatang. Binatang yang akan saya tulis adalah Orang Utan. Mulailah mem-browsing segala sesuatu tentang Orang Utan. Dan ilmu dari kedua kelas saya gabung, ilmu menulis dongeng dan ilmu terapi sakit hati. Sakit hati apa? Sakit hati karena miris melihat nasib Orang Utan yang semakin terancam oleh ulah manusia.

Tadinya saya hanya tahu Orang Utan itu cuma ada di Borneo, Kalimantan dan hanya ada satu jenis Orang Utan. Ternyata ada dua jenis, lho! Orang Utan kalimantan dan Orang Utan Sumatera. Status Orang Utan Kalimantan adalah langka, sedangkan status Orang Utan Sumatera lebih memprihatinkan, hampir punah! Jadi saya putuskan untuk menulis kisah Orang Utan Sumatera.

Saya mencoba memposisikan diri sebagai anak Orang Utan. Apa yang mereka rasakan ketika induk mereka tidak membawa pulang banyak makanan? Bagaimana perasaannya ketika pohon yang mereka tinggali tiba-tiba ditebang? Bagaimana reaksi Orang Utan menghadapi habitatnya yang hilang?

Setelah  riset tercukupi, mulailah saya menulis. Walaupun yang saya tulis adalah dongeng, tapi riset tetap diharuskan. Bagaimana pun, dongeng itu harus tetap logis, karena para pembaca cilik adalah manusia yang cerdas dan kritis. Aneh, kan, jika saya menulis Orang Utan dengan setting di Hutan Amazon. Itu juga salah satu poin yang saya dapat dari kedua kelas menulis. ^_^

Begitu naskah selesai, naskah saya kirim ke email Pak Guru untuk diperiksa. Lalu beliau menandakan bagian mana yang harus diperbaiki atau yang masih janggal. Saya ingat, cuma tiga hal yang digaris bawahi. Dua tentang typo (salah ketik) dan terakhir soal ending. Kalau tidak salah di ending, ada 2 tokoh manusia bercakap-cakap untuk memberi tahu tempat si Pongo sekarang. Tapi menurut Pak Guru, narasi saja. Jangan ada percakapan manusia.

Begitu oke, Pak Guru menyarankan untuk mengirim ke Kompas. Saya sempat ragu dan meng-inbox beliau untuk menanyakan apakah Kompas menerima naskah dongeng? Ampuunn, deh, pake acara nggak percaya kata Pak Guru. hehe. Begitu dijawab 'iya', langsung, deh, kirim ke Kompas. Saya ingat hari itu tanggal 3 Juni 2015.

Akhirnya, setelah hampir 8 bulan menunggu, minggu tanggal 24 Januari 2016, saya di-inbox oleh Pak Bambang pagi-pagi. Saya langsung feeling, 'jangan-jangan si Pongo muncul hari ini?'. Eh, benar! Langsung jejingkrakan. Rasanya suenenge poolll :D