Minggu, 21 Februari 2016

Dibalik Kisah si Pongo

Setelah di akhir tahun kemarin, karyaku pecah telur di Nubi, awal tahun ini kembali cerpen anak karyaku muncul di media. Masih dimuat di koran Kompas, tapi bukan di kolom Nusantara Bertutur, melainkan di cerita anak Kompas. ^_^

Saya masih mengingat dengan jelas proses pembuatan naskahnya, karena memang berkesan di hati. Auw :D
Apalagi cerpen ini adalah cerpen pertama yang saya kirim ke Kompas dan langsung dimuat. Hehe
Dan  juga fabel atau dongeng binatang pertama yang saya buat. Yeayy! Puji Tuhan ^_^

Cerpen ini saya buat ketika saya mengikuti kelas singkat menulis dongeng bersama Pak Bambang Irwanto. Masing-masing murid bebas menentukan dongeng apa yang mau ditulis, karena memang dongeng itu ada banyak jenisnya. Ada dongeng peri dan kurcaci, dongeng klasik, dongeng realis, dongeng binatang dan dongeng futuristik.Kurang dari satu minggu, kami harus menulis naskah dongeng kami.

Pada saat yang bersamaan, saya juga sedang mengikuti kelas menulis anak Merah Jambu di bawah asuhan Bu Nurhayati Pujiastuti. Saya ingat, kelas Merah Jambu sudah memasuki minggu ke-6 dan materi minggu ke-5 adalah materi bagaimana menulis sebagai sarana terapi untuk memulihkan perasaan sakit. Materi yang sulit buat saya, 2 cerpen anak yang saya buat tidak sempurna. Yang pertama nyawanya mirip dengan cerpen buatan Bu Guru, sedangkan yang ke-2 malah tidak bernyawa meskipun isi ceritanya bagus.

Nah, saya putuskan untuk menulis dongeng binatang. Binatang yang akan saya tulis adalah Orang Utan. Mulailah mem-browsing segala sesuatu tentang Orang Utan. Dan ilmu dari kedua kelas saya gabung, ilmu menulis dongeng dan ilmu terapi sakit hati. Sakit hati apa? Sakit hati karena miris melihat nasib Orang Utan yang semakin terancam oleh ulah manusia.

Tadinya saya hanya tahu Orang Utan itu cuma ada di Borneo, Kalimantan dan hanya ada satu jenis Orang Utan. Ternyata ada dua jenis, lho! Orang Utan kalimantan dan Orang Utan Sumatera. Status Orang Utan Kalimantan adalah langka, sedangkan status Orang Utan Sumatera lebih memprihatinkan, hampir punah! Jadi saya putuskan untuk menulis kisah Orang Utan Sumatera.

Saya mencoba memposisikan diri sebagai anak Orang Utan. Apa yang mereka rasakan ketika induk mereka tidak membawa pulang banyak makanan? Bagaimana perasaannya ketika pohon yang mereka tinggali tiba-tiba ditebang? Bagaimana reaksi Orang Utan menghadapi habitatnya yang hilang?

Setelah  riset tercukupi, mulailah saya menulis. Walaupun yang saya tulis adalah dongeng, tapi riset tetap diharuskan. Bagaimana pun, dongeng itu harus tetap logis, karena para pembaca cilik adalah manusia yang cerdas dan kritis. Aneh, kan, jika saya menulis Orang Utan dengan setting di Hutan Amazon. Itu juga salah satu poin yang saya dapat dari kedua kelas menulis. ^_^

Begitu naskah selesai, naskah saya kirim ke email Pak Guru untuk diperiksa. Lalu beliau menandakan bagian mana yang harus diperbaiki atau yang masih janggal. Saya ingat, cuma tiga hal yang digaris bawahi. Dua tentang typo (salah ketik) dan terakhir soal ending. Kalau tidak salah di ending, ada 2 tokoh manusia bercakap-cakap untuk memberi tahu tempat si Pongo sekarang. Tapi menurut Pak Guru, narasi saja. Jangan ada percakapan manusia.

Begitu oke, Pak Guru menyarankan untuk mengirim ke Kompas. Saya sempat ragu dan meng-inbox beliau untuk menanyakan apakah Kompas menerima naskah dongeng? Ampuunn, deh, pake acara nggak percaya kata Pak Guru. hehe. Begitu dijawab 'iya', langsung, deh, kirim ke Kompas. Saya ingat hari itu tanggal 3 Juni 2015.

Akhirnya, setelah hampir 8 bulan menunggu, minggu tanggal 24 Januari 2016, saya di-inbox oleh Pak Bambang pagi-pagi. Saya langsung feeling, 'jangan-jangan si Pongo muncul hari ini?'. Eh, benar! Langsung jejingkrakan. Rasanya suenenge poolll :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar