Rabu, 27 April 2016

Kantung Belanja ala Ruli

     Bertambah lagi karyaku yang dimuat di kolom Nusantara Bertutur, di Klasika Kompas. Masa tunggu hanya 9 hari ^_^. Di saat galau karena selalu ditolak di salah satu majalah, berita dimuatnya ini cukup menjadi pelipur lara *tsah

     Berikut naskahnya ^_^

     **

Kantung Belanja Ala Ruli
Oleh: Vina Maria. A

Di sebuah rumah di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, tepatnya di Dolok Sanggul, Ruli dimintai tolong oleh ibunya yang dipanggil Inong.
“Ruli, bisa tolong belikan telur di warung?,” pinta Inong yang tengah menyetrika baju.
Setelah diberi uang oleh Inong, Ruli bersiap pergi.
“Lho, Ruli tidak bawa kantong sendiri?” tanya Inong.
“Ruli, kan, membeli telurnya di warung bukan di minimarket. Di warung Amang Tagor, kantung belanjaan masih gratis, kok, Inong,” jawab Ruli.
Inong menggeleng, “Bagaimana sampah plastik akan berkurang jika begitu.”
Ruli pun berbalik ke dapur, mencari kantung-kantung kain yang dibeli Inong sebagai pengganti kantung plastik. Tapi tidak ada satu pun.“Inong, kantung kainnya tidak ada semua,”  sahut Ruli.
“Ah, Inong lupa. Satu dibawa Among untuk menyimpan baju ganti, sisanya di tetangga waktu bagi-bagi oleh-oleh kemarin.” Inong  memandang sekeliling. “Nah, pakai ini saja.” Inong menyodorkan sebuah baskom ke tangan Ruli lalu kembali menyetrika baju.
Ruli bengong. Apa kata teman-temannya nanti jika melihatnya membawa telur dalam baskom. Untuk membawanya pun butuh kedua tangan. Tapi perintah Inong tidak bisa ditolerir, apalagi maksud Inong benar. Ruli pun ngeri melihat berita di televisi mengenai sampah plastik. Toh, letak warung Amang Tagor tidaklah jauh.
Ah, Ruli punya ide supaya mudah membawa baskom berisi telur itu. Ruli buru-buru masuk ke kamar Inong dan dengan asal, Ruli menarik sehelai kain dari dalam lemari.
Sesampainya di warung, Ruli baru tahu jika yang diambilnya ternyata kaus milik Among. Untung saja Among berbadan besar. Ruli menaruh baskom berisi telur di tengah kaus dan mengikat setiap sudutnya. Ruli pun dengan mudah membawanya.
Pelan-pelan Ruli memasuki rumah dan bergegas menuju dapur. Di dapur ternyata ada Inong yang sedang minum. Inong  melihat tentengan di tangan Ruli.
“Maaf, Inong. Sebenarnya Ruli hendak mengambil kain, tapi yang terambil malah kaus Among,” ucap Ruli pelan.
“Tapi ide kamu hebat, Ruli. Kaus dijadikan tas.” Inong tersenyum.
Mendengar perkataan Inong, Ruli teringat dengan artikel yang dibacanya di mading sekolah. Artikel tentang membuat tas dari kaus bekas tanpa dijahit.
Ruli segera mengeluarkan kaus bekas miliknya dan menggunting kedua lengannya. Bagian bawahnya pun digunting hingga berumbai-rumbai. Lantas rumbai-rumbai itu diikat hingga menyatu.  Tas daur ulang ala Ruli pun jadi.

“Wah, sekarang Inong tidak perlu lagi membeli kantung kain,” seloroh Inong disusul dengan tawa mereka berdua. (selesai)


Dongeng Pertama di Majalah Bobo

     Ini dia cerita pertamaku yang dimuat di Bobo. Cerita ini hasil dari kelas menulis Merah Jambu yang diasuh oleh Ibu Nurhayati Pujiastuti. Kebetulan yang pertama dimuat adalah tugas di minggu ke-2, materi dongeng yang khusus dibimbing oleh Bu Yuniar Khairani.

     Karena ini naskah perdanaku di Bobo, jadi dua minggu sebelum terbit, pihak Bobo menelponku. Perasaanku? Wah, jelas seneng banget. Kelakuan pun jadi norak dan berlanjut sampai melihat penampakan naskahnya di Bobo.


     Terharu banget, deh! Apalagi masa tunggu yang lama, 11 bulan!

     Nah, ini dia dongeng pertamaku di Majalah Bobo ^_^

**

Gara-Gara Rufus si Kurcaci Kurir
                                                  Oleh : Vina Maria.A      

“Aaaahh, ya ampun!!” Peri Linzy berteriak, melihat telur yang dipecahkan di atas adonan kuenya, busuk. Dicobanya lagi dengan sisa telur yang lain. Namun ternyata semua telur di dalam keranjang, busuk! “Bagaimana ini? Padahal sudah tidak ada waktu lagi,” pekiknya panik.
            Cepat-cepat Peri Linzy menyiapkan adonan yang baru lalu memanggangnya. Hasilnya, kue tersebut bantat, karena dibuat tanpa telur. Peri Minzy pasti kecewa melihat kue pesanannya. Tapi mau bagaimana lagi.
Ini semua gara-gara Rufus, si kurcaci kurir yang selalu terlambat dalam mengantar barang. Kali ini Rufus terlambat mengirim telur pesanan Peri Linzy.
            Rufus memang bertugas untuk mengantarkan barang. Kurcaci atau Peri yang ingin mengirim suatu barang, mereka akan datang pada Rufus. Sebenarnya dalam satu hari, barang yang harus diantar tidaklah banyak, hanya saja Rufus suka menunda-nunda pekerjaannya. Akibatnya barang yang harusnya terkirim semua hari ini, masih tersisa.
“Ah, masih bisa dikirim besok,” pikir Rufus. Begitu setiap harinya, sampai barang-barang yang belum dikirim, menumpuk di rumah Rufus.
            Pernah Rufus mendapat tugas mengirimkan satu set benang  ke rumah Kurcaci Topito, kurcaci pembuat topi. Bibi Lulu Ulat berpesan, benang tersebut harus dikirim secepatnya karena persediaan benang Kurcaci Topito hampir habis. Rufus pun mengiyakan.
            Tapi dalam perjalanan, Rufus berkali-kali berhenti. Dia berlama-lama melihat jamur pelangi yang baru tumbuh, bermain sebentar dengan anak bebek dan mengejar kupu-kupu. Sampai disadari hari sudah siang. “Ah, rumah Kurcaci Topito jauh, besok saja aku mengantarnya.”
             Akibatnya, topi buatan Kurcaci Topito berwarna belang-belang, tak beraturan! Dia terpaksa memakai sisa benang yang ada, karena keluarga Kiku Kucing sudah memerlukan topi tersebut untuk berlibur.
 Banyak Kurcaci dan Peri yang dirugikan karena keterlambatan Rufus. Sayangnya, hanya Rufus satu-satunya kurcaci kurir. Rufus sudah sering ditegur, dinasehati bahkan sampai dimarahi kawan-kawannya. Tapi, Rufus tetap saja santai dalam menjalankan tugasnya.
            Suatu hari tersiar berita, bahwa Ratu Peri akan mengadakan pesta musim panas di kebun istana. Semua Kurcaci dan Peri bersiap-siap. Mereka menjahitkan baju terbaik, memesan sepatu terbaik dan topi terindah untuk menghargai Ratu Peri.
            Rufus juga mendengar berita tersebut dan ikut mempersiapkan diri. Sementara Kurcaci dan Peri yang lain sudah tinggal menunggu undangan resmi dari Ratu Peri, Rufus baru hendak menjahitkan bajunya, memesan sepatu juga topi.
            Undangan resmi dari Ratu Peri pun tiba. Pengawal Ratu memberikan setumpuk undangan  kepada Kepala Kurcaci untuk dibagi-bagikan.
            Giliran rumah Rufus yang didatangi oleh Kepala Kurcaci. Kepala Kurcaci mengetuk pintu dan membunyikan bel. Namun, Rufus tidak menjawab apalagi membuka pintu rumahnya. Bukan karena Rufus sedang pergi mengantar barang, tapi karena Rufus sedang asyik bermain gelembung udara di halaman belakang. Padahal Rufus mendengar bunyi bel. "Tunggu sampai gelembungku habis, baru aku bukakan pintu," pikir Rufus sambil terus bermain.                     
Jam 2 sore, Rufus baru selesai bermain. Betapa terkejutnya Rufus melihat amplop undangan di bawah pintu. Dan lebih terkejut lagi, pestanya diadakan hari ini, jam 4 sore.
Rufus segera berlari menuju rumah Peri Quinzy. “Peri Quinzy, aku mau mengambil baju pesananku.” Peri Quinzy segera mengambilkannya untuk Rufus. Tapi Rufus kaget, “Peri Quinzy, kenapa kancing di bajuku belum terpasang?”
 “Oh,itu karena pesanan kancingku belum datang,” jawab Peri Quinzy santai. “Sudah ya, aku mau bersiap-siap ke pesta Ratu Peri.” Peri Quinzy menutup pintu.
Rufus lalu terburu-buru pergi menuju rumah Kurcaci Sola. “Kurcaci Sola, aku hendak mengambil sepatu pesananku,” sahut Rufus sambil terengah-engah.
Kurcaci Sola menyerahkan sepasang sepatu yang belum jadi pada Rufus, sambil berkata, “Pesanan sol sepatu untukku belum datang, jadi aku tidak bisa menyelesaikan sepatumu.”
            Rufus kecewa melihat sepatunya. “Bagaimana aku bisa pergi ke pesta Ratu Peri?”
Kali ini Rufus mengetuk pintu Kurcaci Topito. Begitu melihat Rufus, Kurcaci Topito langsung menyerahkan topi belang-belang pada Rufus. “Benang warna hijau pesananku belum datang, aku memakai benang yang ada. Itu karena kurcaci kurir selalu datang terlambat!”

Rufus pulang ke rumahnya dengan gontai. Tidak mungkin Rufus pergi ke pesta Ratu Peri dengan baju tanpa kancing, sepatu setengah jadi dan topi belang. Sesampainya Rufus di rumah, matanya tertumbuk pada tiga buah paket yang harus dikirim dari kemarin-kemarin. Badannya semakin lemas, begitu membaca alamat dari masing-masing paket tersebut. Paket untuk Peri Quinzy, Kurcaci Sola dan Kurcaci Topito. (Vin)




Minggu, 21 Februari 2016

Kisah si Pongo (dimuat di Kompas)

Taraaa! Ini dia, cernak pertama ku di Kompas. Selamat membaca ^_^
Ini versi aslinya, karena ada sedikit bagian yang diedit oleh Kompas.

***


Kisah si Pongo 
Oleh : Vina Maria. A

Pongo adalah anak Orangutan Sumatera, usianya baru menginjak lima tahun. Setelah berusia enam tahun, barulah Orangutan  hidup mandiri. Pongo pun masih tinggal bersama Ibunya.
“Hoam,” Pongo menguap sambil meregangkan tangannya. Enak sekali rasanya bangun tidur setelah lelah bermain. Lho, Ibu belum pulang dari mencari makanan? Seharusnya tadi aku ikut dengan Ibu. Gara-gara terlalu asyik bermain, aku malah tidur bukannya belajar mencari makanan.
Tak beberapa lama, Ibu Pongo pun datang. “Maaf, Ibu pulang terlambat. Ini Ibu bawa pisang untukmu. Pongo pasti sudah lapar.”
Pongo mengangguk. Tapi kenapa hanya pisang? Biasanya Ibu juga membawa rambutan, manggis kadang durian. Ah, biarlah. “Ibu, kenapa lama mencari makanannya?” tanya Pongo sambil mulutnya penuh dengan  pisang.
“Kali ini, Ibu harus berjalan agak jauh dari biasanya,” jawab Ibu Pongo.
**
Keesokan paginya, sayup-sayup Pongo mendengar suara menderu. Suara apakah itu? Pongo tidak pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya di hutan. Tiba-tiba badannya diguncang-guncangkan oleh Ibu.
“Pongo, Bangun! Kita harus segera pergi dari sini!” teriak Ibu.
Pongo mengikuti saja perintah Ibu. Mereka pun keluar dari sarang dan mulai bergelayutan dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Beberapa Orangutan juga ikut berpindah tempat. Kini suara menderu yang Pongo dengar sebelumnya berhenti, Pongo yang penasaran menoleh ke belakang. Sebuah pohon besar di ujung sana, perlahan-lahan jatuh. Dan “bumm” suaranya sangat keras ketika menghantam tanah. Pongo terlonjak kaget, kenapa pohon besar itu bisa tumbang?
“Ayo, Pongo! Cepat!” teriak Ibu.
**
“Sepertinya di sini aman.” Ibu Pongo lalu membuat sarang untuk mereka berdua.
 “Ibu, kenapa kita harus cepat-cepat pindah? Lalu kenapa pohon-pohon besar bisa tumbang?” tanya Pongo kemudian.
Ibu menghela napas panjang, “Itu karena ulah manusia. Jika kita tidak segera pindah, pohon yang kita tinggali juga akan tumbang. Lalu Ibu dan Pongo  akan ditangkap oleh manusia.”
“Kenapa mereka menebang pohon, Bu? Pohon kan bisa menghasilkan buah, menampung air, buat udara sejuk, juga tempat Pongo bermain,” Pongo bingung.
Ibu hanya menggeleng pelan.
Pongo masih penasaran, “Lalu kenapa kita ditangkap manusia, Bu?”
“Entahlah, yang Ibu tahu, mereka juga menangkap Harimau Sumatera dan Macan Tutul. Karena itu, kita sudah jarang melihat mereka sekarang.” jawab Ibu sedih.
Berarti manusia sangat kuat, Harimau Sumatera dan Macan Tutul saja bisa ditangkap oleh mereka. Tapi, apakah semua manusia itu jahat? Pongo bertanya-tanya. Pongo akhirnya pergi tidur. Dalam tidurnya, Pongo bermimpi makan beraneka macam buah-buahan segar.
**
Sudah beberapa hari ini Pongo  hanya makan dedaunan dan sedikit serangga. Karena banyak pohon ditebang, mencari buah-buahan jadi semakin sulit. Mau tidak mau Pongo harus makan apa yang ada.
“Ibu, kapan Pongo bisa makan buah-buahan lagi?” tanya Pongo.
“Ibu juga belum tahu. Yuk, ikuti Ibu,” ajak Ibu.
Pongo pun mengikuti Ibu yang memanjat sampai ke puncak pohon.
“Itu, lihat di sana!” Ibu menunjuk ke sebelah kanan. Hutan tempat tinggal Pongo dulu, kini menjadi hamparan tanah yang luas. Lalu Pongo menengok ke sisi lain di belakang Pongo. Ada pepohonan di sana, walau tidak banyak. Tapi itu pohon buah-buahan, Pongo mengenalinya.
“Itu, Bu, di sana! Kita bisa mengambil makanan di sana!” Pongo berteriak kegirangan.
 Ibu terdiam sejenak, “Itu perkebunan milik manusia, Nak.”
**
Pongo senang, Ibu berhasil dibujuk untuk mengambil makanan dari perkebunan manusia. Hanya saja Pongo tidak boleh ikut. Pongo menatap buah-buahan di hadapannya lalu makan dengan lahap.
Besoknya, Ibu belum juga pulang dari mencari makanan, padahal hari sudah gelap. Pongo panik, jangan-jangan terjadi apa-apa sama Ibu. Hari semakin larut, Pongo pun tertidur.
Paginya, Ibu masih belum pulang. Pongo nekat  pergi ke perkebunan untuk mencari Ibu. Sampai disana, Ibu tidak juga ditemukan. Pongo malah melihat sosok manusia yang membawa benda panjang. Apa itu? “Dorr!” Pongo kaget dan segera berlari ketakutan. Ah, lengan bagian atas Pongo sakit. Tapi Pongo terus melesak masuk ke hutan. Rupanya lengannya terluka, diambilnya selembar daun untuk menutupi lukanya. Dengan lengannya yang sakit, Pongo tidak bisa memanjat pohon. Pongo terus saja berjalan sampai akhirnya tak sadarkan diri.
**
Pongo membuka matanya. Ada di mana ini? Dilihat luka di lengannya telah dibalut kain putih. Lalu tak lama datanglah seorang manusia. Pongo ketakutan, tapi manusia itu tersenyum ramah pada Pongo. Bahkan, menggendong Pongo dengan lembut, lalu membawa Pongo keluar. Di luar,  Pongo melihat banyak pohon dan banyak Orangutan sedang bergelayutan dengan wajah gembira.

Rupanya saat ini, Pongo berada di tempat perlindungan Orangutan, tepatnya di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara.  (selesai)

Dibalik Kisah si Pongo

Setelah di akhir tahun kemarin, karyaku pecah telur di Nubi, awal tahun ini kembali cerpen anak karyaku muncul di media. Masih dimuat di koran Kompas, tapi bukan di kolom Nusantara Bertutur, melainkan di cerita anak Kompas. ^_^

Saya masih mengingat dengan jelas proses pembuatan naskahnya, karena memang berkesan di hati. Auw :D
Apalagi cerpen ini adalah cerpen pertama yang saya kirim ke Kompas dan langsung dimuat. Hehe
Dan  juga fabel atau dongeng binatang pertama yang saya buat. Yeayy! Puji Tuhan ^_^

Cerpen ini saya buat ketika saya mengikuti kelas singkat menulis dongeng bersama Pak Bambang Irwanto. Masing-masing murid bebas menentukan dongeng apa yang mau ditulis, karena memang dongeng itu ada banyak jenisnya. Ada dongeng peri dan kurcaci, dongeng klasik, dongeng realis, dongeng binatang dan dongeng futuristik.Kurang dari satu minggu, kami harus menulis naskah dongeng kami.

Pada saat yang bersamaan, saya juga sedang mengikuti kelas menulis anak Merah Jambu di bawah asuhan Bu Nurhayati Pujiastuti. Saya ingat, kelas Merah Jambu sudah memasuki minggu ke-6 dan materi minggu ke-5 adalah materi bagaimana menulis sebagai sarana terapi untuk memulihkan perasaan sakit. Materi yang sulit buat saya, 2 cerpen anak yang saya buat tidak sempurna. Yang pertama nyawanya mirip dengan cerpen buatan Bu Guru, sedangkan yang ke-2 malah tidak bernyawa meskipun isi ceritanya bagus.

Nah, saya putuskan untuk menulis dongeng binatang. Binatang yang akan saya tulis adalah Orang Utan. Mulailah mem-browsing segala sesuatu tentang Orang Utan. Dan ilmu dari kedua kelas saya gabung, ilmu menulis dongeng dan ilmu terapi sakit hati. Sakit hati apa? Sakit hati karena miris melihat nasib Orang Utan yang semakin terancam oleh ulah manusia.

Tadinya saya hanya tahu Orang Utan itu cuma ada di Borneo, Kalimantan dan hanya ada satu jenis Orang Utan. Ternyata ada dua jenis, lho! Orang Utan kalimantan dan Orang Utan Sumatera. Status Orang Utan Kalimantan adalah langka, sedangkan status Orang Utan Sumatera lebih memprihatinkan, hampir punah! Jadi saya putuskan untuk menulis kisah Orang Utan Sumatera.

Saya mencoba memposisikan diri sebagai anak Orang Utan. Apa yang mereka rasakan ketika induk mereka tidak membawa pulang banyak makanan? Bagaimana perasaannya ketika pohon yang mereka tinggali tiba-tiba ditebang? Bagaimana reaksi Orang Utan menghadapi habitatnya yang hilang?

Setelah  riset tercukupi, mulailah saya menulis. Walaupun yang saya tulis adalah dongeng, tapi riset tetap diharuskan. Bagaimana pun, dongeng itu harus tetap logis, karena para pembaca cilik adalah manusia yang cerdas dan kritis. Aneh, kan, jika saya menulis Orang Utan dengan setting di Hutan Amazon. Itu juga salah satu poin yang saya dapat dari kedua kelas menulis. ^_^

Begitu naskah selesai, naskah saya kirim ke email Pak Guru untuk diperiksa. Lalu beliau menandakan bagian mana yang harus diperbaiki atau yang masih janggal. Saya ingat, cuma tiga hal yang digaris bawahi. Dua tentang typo (salah ketik) dan terakhir soal ending. Kalau tidak salah di ending, ada 2 tokoh manusia bercakap-cakap untuk memberi tahu tempat si Pongo sekarang. Tapi menurut Pak Guru, narasi saja. Jangan ada percakapan manusia.

Begitu oke, Pak Guru menyarankan untuk mengirim ke Kompas. Saya sempat ragu dan meng-inbox beliau untuk menanyakan apakah Kompas menerima naskah dongeng? Ampuunn, deh, pake acara nggak percaya kata Pak Guru. hehe. Begitu dijawab 'iya', langsung, deh, kirim ke Kompas. Saya ingat hari itu tanggal 3 Juni 2015.

Akhirnya, setelah hampir 8 bulan menunggu, minggu tanggal 24 Januari 2016, saya di-inbox oleh Pak Bambang pagi-pagi. Saya langsung feeling, 'jangan-jangan si Pongo muncul hari ini?'. Eh, benar! Langsung jejingkrakan. Rasanya suenenge poolll :D


Sabtu, 02 Januari 2016

Cerpen Kedua di Kompas Klasika Nusantara Bertutur

Kyaaa... ternyata cerpen saya kembali dimuat di Kompas Klasika Nusantara Bertutur. Dari empat tema bulan Desember yang Nubi minta, saya memang mengirim dua naskah untuk dua tema. Yang pertama, tema Hari Ibu dan tema kedua yang saya kirim, tema Hari Natal.

Puji Tuhan, kedua-duanya lolos, sehingga bisa mejeng di Kompas Klasika Nusantara Bertutur untuk 2 minggu berturut-turut. Akhir tahun yang manisss, khususnya buat saya yang baru belajar menulis ;)

Terima kasih, ya, Nubi (Nusantara Bertutur)...ilustrasinya pun saya suka ^_^

Berikut cerpen saya di Nubi dengan tema Hari Natal, berjudul 'Arti Natal'. Semoga bermanfaat, ya, teman-teman. Terima kasih sebelumnya :)



Arti Natal
Oleh: Vina Maria A

“Bu, kapan kita membeli baju baru untuk Misa Natal besok?” tanya Kinar pada Ibu yang sedang mengiris daun bawang.
            Ibu menghela napas. “Natal kali ini, Kinar tidak membeli baju baru dulu, ya. Ibu sama Bapak baru saja melunasi biaya studi wisata kamu dan kakakmu. Baju Kinar juga banyak dan masih bagus-bagus, kan?”
            “Tapi, Bu, teman-teman Kinar  pasti memakai baju baru. Kinar malu, nanti Kinar sendirian yang pakai baju lama,” rajuk Kinar.
            “Lho, memangnya kalau Misa nanti, kalian akan berisik meributkan baju baru bukannya khusyuk berdoa?” tanya Ibu.
            “Ah, Ibu kuno!” Kinar meninggalkan Ibu lalu pergi bermain.
**
            Kinar sudah membayangkan sebuah gaun  cantik berwarna merah. Bila dipakai sambil berputar, roknya akan megar seperti gaun puteri kerajaan. Tapi, Ibu malah tidak mau membelikannya. Kalau tidak memakai baju baru bukan Natalan namanya, pikir Kinar.
            Dari jauh, Kinar melihat Sasa teman sekelasnya. Sepertinya dia membawa banyak sekali kertas kado. Tapi buat apa?
            “Sasa, main yuk!” Kinar melambaikan tangannya pada Sasa.
            Sasa pun menghampiri Kinar, “Maaf, Kinar. Hari ini aku ada tugas penting, jadi tidak bisa bermain dulu. Atau kamu mau membantu aku?” ajak Sasa.
            “Membantu apa?” tanya Kinar penasaran.                                              
            “Nanti kamu juga akan tahu, yuk!” Sasa segera mengamit tangan Kinar.
**
            Di ruang tamu Sasa berserakan berbagai macam peralatan sekolah, beberapa kotak makan dan tempat minum.
            “Tolong bantu aku membungkus kado, ya,” pinta Sasa.
            “Untuk siapa kado sebanyak ini, Sa?” tanya Kinar.
            “Tiap Hari Natal, aku menyumbang kado ke Panti Asuhan. Ini hasil dari tabunganku sendiri selama satu tahun, lho,” ujar Sasa bangga.
            Kinar mengambil sebuah kotak pensil lalu membungkusnya. “Kamu sudah beli baju baru buat Misa besok, Sa?” Kinar kembali teringat dengan masalahnya.
            Oh, aku nggak  beli baju baru. Kasihan Ayah dan Ibuku baru membayar biaya studi wisata yang tidak sedikit,” jawab Sasa.
            Memang  studi wisata ke Batu, Malang untuk 3 hari 2 malam, biayanya tidak sedikit, pikir Kinar. “Tapi kamu kan punya tabungan, Sa. Kenapa dihabiskan untuk membeli kado-kado ini? Padahal bisa untuk membeli baju baru.”
            Sasa tersenyum. “Bajuku masih banyak yang bagus kok. Ayahku juga pernah bilang bahwa arti Natal yang sesungguhnya adalah berbagi dengan sesama dan kebersamaan bukan sekadar baju baru. Aku masih bisa merayakan Natal bersama Ayah dan Ibu, sementara mereka anak-anak yatim piatu. Tapi bukan berarti nggak boleh memakai baju baru di hari Natal, lho.”
            Kinar jadi malu mendengarnya. Bukannya bersyukur masih bisa merayakan Natal bersama keluarganya, malah meributkan baju baru. Natal tanpa Ayah dan Ibu, pasti rasanya sepi sekali. 
            “Sa, aku boleh ikut ke panti asuhan nggak?” tanya Kinar.
            “Boleh dong!” jawab Sasa.
            “Natal tahun depan, aku juga menyumbang kado ya, Sa,” sahut Kinar lagi.
            Sasa mengangguk senang. (Vin)
**


           


            

Cerpen Pertama di Media : Kompas Klasika Nusantara Bertutur

Hore! Akhirnya pecah telur juga.. Untuk pertama kalinya saya merasakan bagaimana senangnya melihat karya saya dimuat di media. Uhuyy ^_^

Karya pertama ini, dimuat di Kompas Klasika Nusantara Bertutur edisi 20 Desember 2015. Mengambil tema sesuai jadwal yang dikeluarkan oleh Nubi (Nusantara Bertutur) yaitu Hari Ibu, dengan judul 'Ibuku Sayang Ibuku Cerewet'.

Bagi teman-teman yang ingin membacanya, silahkan.. Ini versi aslinya, sebelum diedit. Terima kasih sebelumnya ^_^





Ibuku Cerewet Ibuku Sayang
Oleh: Vina Maria.A

Hari ini Naya malas pulang. Habisnya Ibu terlalu mengatur. Pagi-pagi sudah cerewet menyuruh segera mandi. Sarapan harus dikunyah pelan-pelan dan harus habis. Pulang sekolah, Ibu cerewet menyuruh Naya ganti baju, cuci tangan dan kaki, makan siang, bikin PR. Huh, padahal santai sebentar menonton televisi kan tidak apa-apa. Nanti juga dilakukan, gerutu Naya.
Kali ini Naya mau pulang terlambat. Biar saja sekalian Ibu marah. Naya membelokkan sepedanya ke Solo City Walk.  “Rasanya tenang sekali tidak mendengar omelan Ibu,” gumam Naya seraya bersepeda melintasi pepohonan.
Tiba-tiba gerimis turun. Naya bergegas mengayuh sepedanya. Tapi hujan malah bertambah deras, terpaksa Naya berteduh di depan sebuah toko batik.
Sudah setengah jam lebih, hujan belum juga reda. Perut Naya sudah berbunyi, tanda minta diisi. Naya juga kedinginan. Brrr..,
Tak lama Ibu datang dengan membawa payung. “Naya! Syukurlah, kamu disini.” Ibu mengeluarkan jas hujan dari tas keresek hitam di tangannya. “Pakai ini,” ujar Ibu sambil memakaikannya ke badan Naya.
Tangan Ibu yang satu menuntun sepeda Naya, tangan satunya lagi memegang payung untuk menaungi mereka. Tapi hujan turun dengan lebat disertai angin, membuat Ibu tetap kebasahan.
Sampai di rumah, Ibu segera memasak air hangat untuk Naya mandi.
“Hachii!” Ibu bersin. “Makan dulu supnya selagi hangat,” seru Ibu. “Hachii!” Ibu bersin lagi.
**
Besoknya, Naya bangun kesiangan. Seruan Ibu yang biasanya membangunkan Naya tidak kedengaran. Selesai mandi, Naya menuju ke meja makan untuk sarapan. Tapi hanya ada Bapak di situ.
“Ibu mana, Pak?” tanya Naya.
“Semalaman Ibu demam, menjelang subuh baru bisa tertidur.” Bapak beranjak dari kursinya. “Jangan lupa sarapan, Bapak sudah buatkan nasi goreng. Nanti siang Bapak pulang mau mengantar Ibu ke dokter.”
Ibu pasti sakit karena kehujanan kemarin. Naya lalu menyantap nasi gorengnya dengan terburu-buru. Naya tidak mau terlambat.
**
Naya masuk ke kelas berbarengan dengan  bel tanda masuk berbunyi. Tak lama, Pak Joko pun masuk.
“Anak-anak, silahkan keluarkan PR matematika kalian,” ujar Pak Joko.
Ya ampun, Naya lupa. Semalam Naya ketiduran. Akibatnya Naya dihukum berdiri di depan kelas. Malu sekali rasanya. Apalagi ini pertama kalinya Naya kelupaan tidak mengerjakan PR.
Tiba-tiba Naya merasakan perutnya melilit. Pasti karena tadi sarapan dengan terburu-buru, batin Naya.
Naya tercenung. Biasanya Ibu yang mengingatkan dan memeriksa PR-nya. Ibu juga yang membangunkannya pagi-pagi. Ibu sakit semua jadi berantakan. Ibu sakit juga gara-gara Naya.
Sekarang Naya paham, Ibu bukannya cerewet tapi peduli. Pulang sekolah nanti Naya harus minta maaf pada Ibu dan berterimakasih untuk kebaikannya selama ini. (Vin)
**