Kamis, 26 Oktober 2017

Masakan Misterius Ibu

Akhirnya saya  kembali mengisi blog ini dengan karya baru yang dimuat. Duh, jaraknya puanjang dari karya sebelumnya. Ditambah jarang nulis pula. Hiks..

Perjalanan naskah kali ini cukup panjang. Berawal dari  mengikuti seleksi RtR yang saat itu salah satu temanya adalah makanan traditional. Lalu saya menghubungi seorang teman dan mengadakan wawancara kecil-kecilan seputar  masakan khas buatan Ibunda beliau. Eh,  saya gak lolos :p
Terus saya rombak naskah tersebiut dan disesuaikan dengan kriteria Majalah Bobo. Kebetulan saat itu di grup BAW sedang berlangsung kelas anak, saya setor deh, sembari meminta krisan dari teman-teman (Terima kasih buat krisannya ^ ^)
Dan ternyata jodohn si naskah dengan Kelinci Biru ;)

**


Masakan Misterius Ibu
Oleh: Vina Maria. A

Ini aneh. Kak Mala dan Tuti berpandangan. Ibu bilang, Ibu mau memetik buah nangka di kebun belakang. Hidung Mala sudah tak sabar mencium aroma nangka yang menggoda. Tuti sejak tadi sudah menahan air liurnya setiap membayangkan potongan nangka yang manis.
“Bu, itu nangkanya belum matang.” Mala menunjuk buah nangka berukuran di tangan Ibu.
“Ibu nggak salah petik,” Tuti menambahi.
Ibu menggeleng sambil tersenyum misterius. Setelah menaruh buah nangka di dapur, Ibu malah pergi melalui pintu belakang.
Bukannya Ibu sudah berbelanja di pasar? Ibu mau kemana lagi? Kak Mala dan Tuti yang penasaran, akhirnya mengekori Ibu. Mereka melewati sawah. Kaki Ibu melangkah gesit meniti pematang sawah. Tibalah mereka di sebuah kebun Pohon Jati. Batang pohon Jati, kurus dan tinggi. Ibu memetik beberapa helai daun jati yang masih muda.
Tuti menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan. Kakaknya Mala hanya mengedikkan bahunya.
Sampai di rumah, Ibu segera mencuci daun-daun Jati tadi. “Mala, tolong keluarkan batok kelapa dari keranjang belanjaan Ibu. Sekalian dicuci bersih, ya,” pinta Ibu.
Batok kelapa? Untuk apa? Tapi Mala tetap melakukan perintah Ibu.
Tangan Ibu dengan lincah mengupasi buah nangka. Tuti mengamati potongan-potongan nangka yang berwarna putih. Iih, mana enak. Pikirnya.
“Bu. Ada apa, sih, Bu? Hari ini, Ibu aneh.” Tuti tak tahan untuk berkomentar.
Ibu tidak marah, malah tertawa. Lalu terdiam dan menghela napas, “Sebenarnya hari ini Ibu kangen sama Nenek.”
            Jawaban Ibu juga aneh.
“Mala, nanti kamu susun batok kelapa di dasar panci, ya.” Ibu kembali menyuruh Mala.
“Memangnya batok kelapa bisa dimakan, Bu? tanya Tuti heran.
Ibu tergelak mendengarnya, “Nanti kalian juga akan tahu. Sekarang, Tuti bantu Ibu mencuci potongan-potongan nangka lalu kamu masukkan ke dalam panci yang beralas batok kelapa tadi.”
Ibu lalu menambahi air santan ke dalam panci beserta bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Sebelum panci ditutup, Ibu menaruh beberapa helai daun jati.
Ibu mengatur kenop kompor minyak tanah, hingga api kompor mengecil. “Sekarang kita tunggu dua jam.”
            “Kenapa tidak pakai kompor gas saja, Bu. Lebih cepat, tidak perlu menunggu dua jam,” usul Mala.
Ibu menggeleng, “Dulu Nenek malah memasak di atas tungku dan rasanya memang jadi lebih enak.”
“Kak Mala mau memakan masakan Ibu tadi?”  Tuti langsung menyembur Kakaknya begitu mereka memasuki kamar.
“Sst.., pelan-pelan! Nanti Ibu dengar.” Kak Mala menempelkan jari telunjuk di mulutnya. “Kakak juga ragu. Tapi selama ini masakan Ibu selalu enak. Kita coba saja dulu.”
Tuti mengangguk setuju.
Dua jam berlalu. Kak Mala dan Tuti bergegas ke dapur.
“Belum boleh dibuka!” larang Ibu.
Ya ampun! Sebenarnya Ibu memasak apa, sih?
**
Besoknya, sepulang dari sekolah, Mala dan Tuti mencium aroma harum dari arah dapur. Panci yang sama masih ada di atas kompor minyak yang baru dimatikan Ibu. Uap panas tipis keluar dari sela-sela panci membawa aroma sedap di sekeliling dapur. Perut Mala dan Tuti semakin meronta-ronta minta diisi.
“Ada sayur bayam dan tahu goreng di meja makan. Jangan lupa  ganti baju dulu.” Kali ini Ibu belum juga membuka panci itu.
“Kak, aku makin penasaran sama masakan Ibu. Sudah dua hari tapi belum matang juga!” keluh Tuti.
Kak Mala yang telah selesai berganti baju tampak berpikir, “Oh, mungkin karena batok kelapa yang keras, jadi butuh waktu lama untuk matang.”
“Hmm, benar juga, ya, Kak.” Tuti mengangguk-angguk.
**
Besoknya, saat makan malam, sudah tersedia aneka hidangan di meja makan. Kak Mala dan Tuti hanya tahu Opor Ayam dan Tempe Bacem, yang lain tidak tahu namanya.
“Ini apa, Bu?” Mala menunjuk mangkuk yang berisi makanan berbentuk kotak-kotak.
“Itu namanya Sambal Goreng Krecek,” jawab Ibu.
“Itu kesukaan Bapak. Pasangannya Gudeg,” sela Bapak.
“Gudeg?” tanya Kak Mala dan Tuti bersamaan.
Ibu menunjuk semangkuk hidangan lain, “Ini yang Ibu masak kemarin.”
            Kak Mala dan Tuti yang penasaran segera menyendokkan Gudeg ke atas piring masing-masing.
“Lho, mana batok kelapanya, Bu?” tanya Tuti.
“Daun Jatinya?” Mala ikut bertanya.
Bukannya menjawab, Bapak dan Ibu malah tertawa.
“Batuk Kelapa gunanya agar Gudeg tidak gosong. Sedangkan Daun Jati membuat warna Gudeng menjadi cantik kecoklatan,” jelas Ibu panjang lebar.
Giliran Kak Mala dan Tuti yang tertawa.
“Hmm, rasanya enak.”  Kak Mala dan Tuti makan dengan lahap.
“Nenek yang mengajarkan Ibu memasak Gudeg. Gudeg buatan Nenek malah lebih enak lagi,” cerita Ibu.
“Bagaimana jika besok kita ziarah ke makam Nenek?” usul Bapak.
“Setuju, Pak!” seru Kak Mala juga Tuti.

Ibu mengangguk senang. (vin)





Kamis, 06 Juli 2017

Kebun Bunga Siska

Saya tidak pernah menyangka kalau cerpen ini akan dimuat. Ini cerpen juga merupakan hasil kelas Merah Jambu. Cerpen di minggu pertama kelas..tugas pertama.

Waktu itu Bu Guru memancing imajinasi kami dengan sebuah gambar..gambar kupu-kupu. Kami diharuskan menulis sepuluh kalimat, begitu oke, lanjut lagi 10 kalimat. Nah, setelah kalimat kedua pulu ini yang seru. Bu Guru kembali melempar gambar untuk membelokkan jalan cerita. Tentu saja gambar yang diterima tiap muris berbeda. Kami harus siap-siap ngepot setelah menulis dua puluh kalimat.

Jujur saja saya kurang puas dengan jalan ceritanya. Rasa-rasanya kok maksa, ya.. Jadi saya gak berharap banyak. Eh, waktu naskah ini dimuat dan saya baca ulang..ternyata lumayan juga..haha.
Ya iyalah, makanya sama Bu Guru naskah ini lolos. xixixi..
**


Kebun Bunga Siska
Oleh : Vina Maria Agustina

Rasti mengintip kebun sebelah. Kebun milik tetangganya, Siska. "Huh! Bunga-bunga miliknya sudah bermekaran semua," gerutu Rasti. Rasti juga memiliki kebun yang ditanami berbagai macam bunga. Tapi entah kenapa, bunga-bunga miliknya tidak pernah mekar. Bahkan ada beberapa yang batang-batangnya tampak layu. Padahal Rasti membeli bibit bunga di toko Florista, sama seperti Siska. Apa karena jarang disiram? Wah, jangan ditanya! Rasti rutin menyirami kebunnya setiap pagi dan sore, bahkan rajin diberi pupuk.

            Hmm, aku akan mengamat-amati Siska dan mengikuti semua gerak-gerik Siska dalam merawat tanaman bunga-bunga miliknya. Apalagi hari ini, hari minggu, pas sekali. Tekad Rasti sudah bulat. Rasti duduk di teras depan rumahnya sambil berpura-pura membaca buku.

Nah, itu dia! Siska keluar dari rumahnya, dia membawa peralatan berkebun. Siska mulai memotong ranting-ranting yang kering. "Ah, kalau seperti itu, aku juga sudah lakukan," Rasti bergumam. Setelah itu, Siska mengambil selang dan mulai menyirami tanaman bunga-bunganya. Mulai dari sebelah kiri ada bunga mawar merah dan mawar putih. Lalu bergeser ke tengah, bunga melati,cempaka dan kenanga. Terakhir di sisi kanan, deretan bunga bougenville beraneka warna.

Tak lama datang kupu-kupu berwarna kuning. Semenit kemudian menyusul kupu-kupu lain yang tak kalah cantik. Siska tampak bahagia dengan senyum yang menghiasi wajahnya.  Ah, Rasti jadi iri, aku juga mau kebunku didatangi kupu-kupu cantik.
Rasti mengendap-endap ke pagar pembatas antara kebun miliknya dan milik Siska. Sambil mengintip dipegangnya pagar kayu tersebut.  Tiba-tiba, "Auww...," Rasti menjerit kesakitan. Rupanya, tangannya digigit semut merah. Rasti melotot pada iring-iringan semut yang berjalan di atas pagar kayu. Sepertinya semua mahluk hidup berpihak pada Siska. Mulai dari bunga-bunga, kupu-kupu, sampai semut merah!

"Hai Ras..."
                   
Rasti menengok ke arah suara yang memanggilnya. Ternyata Siska! Dia sedang berdiri di hadapan Rasti sekarang.Ini pasti gara-gara teriakan tadi. Rasti kesal.
"Tadi aku mendengar suara menjerit. Waktu kutengok, ternyata kamu. Kenapa Ras?"

"Oh, ini tanganku digigit semut merah," Rasti masih saja cemberut.

"Sebentar aku ambilkan minyak kayu putih untuk tanganmu." Tanpa meminta persetujuan Rasti, Siska segera berbalik, masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian, Siska keluar dengan memegang minyak kayu putih di tangan kanannya. "Sini, mana tanganmu yang digigit semut tadi?”  tanya Siska.

Meskipun ragu, Rasti mengulurkan tangannya untuk diolesi minyak kayu putih oleh Siska.
"Nah, beres. Walau masih sedikit pedih, tapi tidak akan bengkak kok," Siska tersenyum.

Rasti jadi ikut tersenyum. "Kamu sedang apa, Sis?" Padahal Rasti sedari tadi sedang mengamati Siska.

"Aku sedang berkebun, Ras. Sekarang aku akan memberi pupuk. Ini dia pupuknya." Siska menunjukkan kantong berisi pupuk. "Kamu mau bantu aku, Ras? Biasanya aku dibantu adikku, tapi kali ini dia berenang dengan temannya." Rasti mengangguk, dia memang penasaran dengan kebun bunga milik Siska. "Ini, pakai sarung tangannya dulu, Ras." Siska menyerahkan sepasang sarung tangan berwarna merah jambu. "Nah, ini sendok takaran untuk pupuknya. Satu buat kamu yang satu lagi buat aku.Ini jenis pupuk organik padat. Ayahku sendiri lho, yang membuatnya. Kalau Rasti mau, boleh kok melihat proses pembuatannya di halaman belakang," Siska berbicara tanpa henti.

Wah, Siska senang sekali  jika bercerita tentang perawatan kebunnya. Bahkan sambil memberi pupuk, Siska mengajak bicara bunga-bunga miliknya. "Nah, ini pupuk buat kamu melati. Semoga kamu tumbuh subur ya..," sahut Siska pada Melati, bunga di kebunnya.
                                                                                    
Rasti melihat Siska begitu bahagia dalam merawat bunga-bunganya. Mungkin karena itu ya, bunga-bunga itu juga bahagia. Mereka bermekaran, tidak seperti bunga-bungaku, pikir Rasti. Ah, selama ini Rasti suka terpaksa kalau berkebun. Hanya karena ingin bunga-bunganya cepat mekar saja. "Sis, kamu lucu sekali deh, mengajak bicara bunga-bunga milikmu," Rasti tersenyum lebar. Siska tersenyum, "Tumbuhan itu mahluk hidup, mereka juga punya perasaan. Begitu kata Ibuku dulu."
***

Rasti memetik beberapa bunga mawar putih dan juga mawar merah. Bukan dari kebun milik Siska, tapi dari kebun bunga miliknya sendiri. Sejak Rasti melihat cara Siska berkebun, mereka jadi berteman dekat. Siska juga yang membantu Rasti merawat kebunnya. Tentu hanya di awal saja, karena Rasti juga ingin merasakan kebahagiaan merawat bunga-bunganya sendiri. Seperti Siska.
Dua buket mawar sudah siap. Satu buket mawar putih akan diberikan untuk Siska. Hari ini, hari peringatan 2 tahun kepergian ibunya. Semoga mawar putih ini bisa membawa kebahagiaan buat Siska. Dan buket bunga yang lain, mawar merah, untuk mami. Mami yang selalu membawa kebahagian buat Rasti. (Vin)
**

Aling dan Semangkuk Bubur

Cerpen ini hasil dari Kelas Merah Jambu di bawah asuhan Bu Nurhayati Pujiastuti. Waktu itu Bu Guru mengajarkan bahwa menulis itu juga bisa dijadikan terapi. Saat kita sedih, galau ataupun bermuram durja, kita tuangkan saja pada cerpen.

Terus terang saja, saya agak kesulitan waktu itu. Hmm, mungkin karena saya bukan orang yang mudah bercerita saat ada masalah, ya. Terbukanya pas masalah udah kelar. Eh, itu dulu lhoo.. Sekarang sih, saya jauh lebih open. hehe..

Dan cerpen ini mengalami revisi bolak-balik. Gak sekali dua kali. Giliran sudah oke, Bu Guru kembali meminta untuk ditulis ulang karena nyawanya hilang. Duh! Apa pula itu. Sebagai murid saya pun manut.

Makanya saat tahu cerpen ini dimuat, rasanya hepiii. Dan kenangan di belakang layar pun kembali muncul.
***

Aling dan Semangkuk Bubur
Oleh :Vina Maria A

     “Brak!!” Aling membanting pintu kamarnya. Aling merasa kesal karena nilai ulangan matematikanya hanya mendapat 8,5. Padahal itu merupakan nilai tertinggi di kelas, karena soal-soalnya memang sulit. Namun, tetap saja Aling menjadi kepikiran sepanjang sisa hari itu.
     “Ah, lebih baik aku  membaca komik saja.” Aling mencoba untu kmenenangkan hatinya. “Lho, mana komik ‘HaiMiiko, edisi 28? Pasti dipinjam Acong.” Aling bergegas menuju kamar adiknya itu.
     Di sana dilihatnya  Acong sedang membaca komik yang dicarinya.
     “Acong, kembalikan komik Cici! Aling berkata dengan nyaring.
      “Lho, Cici, kan sudah selesai membacanya kemarin?” tanya Acong heran.
     Aling mendekati Acong dan serta merta merebut komik tersebut dari tangan Acong sambil berteriak, “Kembalikan! Cici mau baca!”
     Acong yang kaget dengan perlakuan Aling menjad ikesal. “Cici, kenapa, sih? Kan, bisa minta baik-baik, tidak perlu marah-marah!”
     Namun Aling tidak mempedulikan Acong. 
**
     Besoknya,  Aling sudah melupakan kekesalannya. Apalagi hari ini Aling mendapat nilai 10 untuk ulangan IPA. Aling memang mudah marah untuk hal kecil yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Tapi Aling juga dengan mudah melupakan kekesalannya itu. Sampai di rumah, Acong pun disapanya dengan ramah.
     “Acong, kita makan siang bareng, yuk!” ajak Aling.
     Acong yang masih kesal hanya melengos dan pergi meninggalkan Aling.
     “Ih,  cuma begitu saja masih ngambek. Ya sudah, aku makan sendiri,” gerutu Aling.
     Sehabis makan,  Aling tidur siang sebentar, lalu bersiap-siap untuk latihan Pramuka di sekolah.
**
     Lagi-lagi Aling cemberut, karena kelompoknya kalah cepat dalam membuat tandu menggunakan tongkat dan tali Pramuka. Ini gara-gara Pinkan yang gerakannya lamban!
     Aling  menyalahkan Pinkan. “Kamu lamban, sih. Kelompok kita jadi kalah!”    
     “Maaf Ling, tadi ad asimpul yang salah, aku harus mengulangnya kembali,” Pinkan merasa tidak enak pada Aling.
     “Sudahlah Ling, kelompok kita kan menang dalam lomba menebak sandi Morse dan Semapur. Kita masih lebih unggul, kok,” Raya mencoba menenangkan Aling.
     Bukannya tenang, Aling malah bertambah sewot, “Itu karena aku yang lebih banyak menjawab! Coba kalau aku juga yang membuat tandunya!”
     “Ya sudah, kamu keluar saja dari kelompok! Kamu tidak membutuhkan kami kan!” Pinkan tiba-tiba berteriak pada Aling. Wajahnya memerah dan napasnya menderu karena kesal.
     Alih-alih meminta maaf, Aling malah memukul tongkat Pramuka miliknya ke tanah dan pergi begitu saja.
**
Esok pagi, begitu tiba di sekolah, Aling melihat Pinkan yang baru saja turun dari angkot. Tanpa ragu dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin sore, Aling menghampiri Pinkan, “Hai, Pinkan.”
     Begitu melihat Aling, Pinkan langsung membuang muka dan mempercepat langkahnya. Aling yang selalu marah untuk hal-hal sepele. Ketika kalah main lompat karet, kalah tipis dalam gobak sodor, nilai kerja kelompok yang tidak sempurna dan masih banyak lagi. Puncaknya pada latihan Pramuka kemarin.
**
     Baru kali ini Aling merasa kesepian. Pasalnya sudah tiga hari Pinkan dan Raya mendiamkannya. Teman-teman yang lain juga hanya menjawab sekadarnya. Di rumah, Acong ikut-ikutan genjatan senjata. Sudah dirayu dengan coklat kesukaannya juga tidak mempan. Aling jadi bingung, karena mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Padahal kejadiannya sudah berlalu, apa susahnya sih, melupakan begitu saja. Pikir Aling.
     Bosan di rumah, Aling pun memutuskan pergi ke rumahAkong yang adalah kakek Aling. Sampai di sana, dilihatnya  Akong sedang memasak.
     “Wah, rupanya Akong sedang memasak bubur. Aling mau,” pinta Aling.                             
     Akong mengangguk-angguk senang.
     “Bubur itu terbuat dari nasi, ya, Kong?” tanya Aling.
     “Dari beras juga bisa, tapi proses memasaknya lebih lama. Mangkanya ada peribahasa Nasi Sudah Menjadi Bubur, bukan Beras Sudah Menjadi Bubur,” Akong terkekeh geli.
     “Berarti bubur tidak bisa kembali menjadi nasi, kan, Kong?” tanya Aling lagi.
     Akong mengiyakan, “Berarti sesuatu yang sudah terlanjur terjadi tidak dapat dirubah lagi. Karena itu, Aling harus hati-hati dalam bertindak danb erkata-kata.”
     Aling jadi teringat Acong dan Pinkan yang kena amarahnya. Pasti mereka tidak suka kena omelan Aling. Seharusnya aku tidak marah untuk hal-hal yang sepele. Aling mulai mengerti.
     Dilihatnya Akong menambahkan kecap asin, cakwe dan kerupuk ke dalam semangkuk bubur. Bubur memang tidak bisa kembali menjadi nasi, tapi bisa ditambah bahan pelengkap supaya menjadi bubur yang enak. Kesalahannya memang sudah terlanjur, tapi Aling tidak mau membiarkannya. Aling beranjak pulang, dia harus minta maaf dengan tulus pada Acong, Pinkan juga Raya. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.

     “Aling, ini buburnya!” teriak Akong yang heran melihat Aling tiba-tiba saja pergi. (vin)

Nodin si Angin kecil

Senengnya si Nodin dimuat di Majalah Bobo. Ini juga dongeng kesukaan kesayangan.



Nodin si Angin Kecil
Oleh: Vina Maria.A
           
Akhirnya hujan lebat berhenti juga. Nodin si angin kecil keluar dari rumahnya di antara dedaunan pohon Cemara Angin.
“Hmm, aku selalu suka aroma tanah setelah hujan,” gumam Nodin. “Waktunya beraksi!” seru Nodin riang.
Dari jauh tampak Kakek Timo baru saja keluar dari rumahnya. Nodin tersenyum jahil. Whuss, Nodin berlari kencang ke arah Kakek Timo. Lebih tepatnya menuju kepala Kakek. Walhasil, rambut Kakek Timo yang sudah tersisir rapi menjadi berantakan dan jatuh ke bawah. Ups, rupanya selama ini Kakek Timo memakai wig alias rambut palsu untuk menutupi kepalanya yang botak. Malangnya, wig itu jatuh ke tanah yang becek. Kakek Timo pun masuk kembali ke rumahnya sambil menenteng wig yang kotor.
Dari balik pohon, Nodin tertawa keras sampai berguling-guling. “Itu, lucu sekali! Aku akan mencari mangsa yang lain, ah.”
Matahari mulai menampakkan diri sehabis hujan. Orang-orang mulai beraktifitas kembali. Nodin melihat Nenek Berta yang sedang menjemur pakaian. Niat iseng Nodin pun muncul. Nodin mengitari jemuran Nenek Berta dengan kencang. Pakaian-pakaian Nenek yang masih basah pun berjatuhan. Akibatnya Nenek Berta harus mencuci ulang semua pakaiannya.
Nodin terkekeh geli, “Wajah Nenek yang kebingungan sangat lucu. Ah, sekarang aku mau mengganggu Pak Bandi.”
Pak Bandi sedang menjalankan tugasnya menyapu jalan. Biasanya, Pak Bandi akan mengumpulkan daun-daun kering di satu tempat, sebelum memasukkannya ke tempat sampah.
Nodin siap beraksi. Jika Pak Bandi sedang menyapu di sebelah kiri, Nodin akan mengacak-acak daun-daun yang sudah terkumpul di sisi kanan. Begitu seterusnya hingga Pak Bandi kelelahan dan duduk sejenak.
Nodin tak tahan lagi, dia berlari ke atas pohon kelapa lalu tertawa sampai berguncang-guncang. Daun-daun pohon kelapa pun ikut bergoyang.
“Kamu sudah keterlaluan, Nodin!”
Nodin berhenti tertawa.
Rupanya Dewa Angin yang datang. “Setiap hari kerjamu hanya berbuat usil. Kamu telah banyak merugikan manusia!” Suara Dewa Angin menggelegar.
“A..aku hanya ingin bersenang-senang,” sahut Nodin dengan suara pelan.
Dewa Angin melotot,” Bersenang-senang?! Sakit pinggang Nenek Berta kambuh karena dia harus mencuci ulang pakaiannya. Lihat Pak Bandi sampai kelelahan!”
 “Tapi Kakek Timo, kan, masih bisa keluar rumah tanpa memakai wignya.” Nodin masih saja berusaha membela dirinya.
Dewa Angin semakin geram mendengarnya. Dia berputar-putar kencang, menyebabkan badai angin di desa. Tapi buru-buru dihentikannya, sebelum kerusakan terjadi.  “ Kakek Timo hendak mengunjungi pesta ulang tahun cucunya. Cucunya ini takut dengan kepala botak Kakek.”
Nodin tertunduk sedih.                                                                                                        
 “Si cucu menangis karena Kakeknya tidak datang dan Kakek Timo tak kalah sedih,” lanjut Dewa Angin.
Nodin tak menyangka jika ulahnya yang selama ini disangka lucu malah merugikan manusia. Nodin kira mereka yang diisengi akan maklum. Ternyata akibat yang sangat fatal harus dialami oleh Nenek Berta, Pak Bandi dan Kakek Timo.
“Ta..tapi, Dewa Angin? Aku hanyalah angin kecil yang tak berguna. Aku tak sekuat angin darat dan angin laut yang sanggup membantu nelayan berlayar. Aku juga tak  sanggup menjalankan kincir angin,” sahut Nodin lemah.
“Hmm, jadi karena itulah kamu bertingkah iseng?” tanya Dewa Angin.
Nodin mengangguk.
“Mulai besok, kamu bisa membantu penyerbukan di ladang jagung juga di padang rumput yang penuh dengan bunga Dandelion. Kamu hanya perlu berlari sepuasnya,” jelas Dewa Angin.
Setelah Dewa Angin kembali ke Istananya, Nodin pun bergegas turun. Di bawah, Pak Bandi sudah kembali menyapu. Kali ini, Nodin membantu Pak Bandi dengan mengumpulkan dedaunan kering di satu tempat. Pak Bandi pun bisa pulang ke rumah lebih awal.
Lalu, Nodin segera menuju ke rumah Nenek Berta. Nenek Berta baru saja menjemur kembali pakaiannya. Nodin bergerak perlahan mengitari pakaian-pakaian tersebut. Sinar matahari ditambah hembusan Angin Nodin, pakaian Nenek Berta menjadi cepat kering. Nenek Berta pun sangat senang.
Di jalan, Nodin bertemu dengan Kakek Timo. Kakek Timo mengenakan wignya yang masih agak basah.
“Dia pasti hendak mengunjungi cucunya,” pikir Nodin.
Nodin menemani perjalanan Kake Timo sambil berhembus perlahan ke wig Kakek. Wig Kakek menjadi kering dan sepanjang perjalanan, Kakek juga tidak kepanasan. Nodin pun lega melihat Kakek Timo sudah kembali bertemu dengan cucunya.
 “Selesai juga. Besok aku akan menjadi angin yang berguna bagi penduduk desa, “gumam Nodin.
Esok paginya Nodin berlari-lari riang di sepanjang ladang jagung. Berkat Nodin, jagung-jagung bisa berbuah dan hasil panen melimpah. Berkat Nodin pula, bunga Dandelion bertambah banyak dan bermekaran, menambah indah pemandangan. Anak-anak kecil yang berlarian di padang pun senang berkat Nodin, mereka tidak kepanasan.
Nodin si angin kecil sangat bahagia karena dirinya berguna. Apalagi, dia tetap bisa berlari sepuasnya tanpa harus merugikan penduduk desa. (selesai)

Ryza dan Nasi

Kangen dimuat di Nubi. Jadi langsung membulatkan tekad untuk menulis. Waktu itu temanya tentang 'menghargai'. Belum ada ide langsung nangkring di depan lepi. Tangan meraba-raba buku apa saja untuk memantik ide. Dapat buku peajaran anak. hehe..
Dan lahirlah cerita ini. Puji Tuhan langsung dimuat.
Yah, kadang kita memang harus memaksa kita untuk tetap menulis. Seorang penulis..bahkan banyak penulis pernah berkata kalau menulis itu bukan bergantung pada mood. Setuju, kan?! ;)
**

Ryza dan Nasi 

Sudah dua hari Ryza menginap di rumah Kakek dan Nenek, di Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat dalam rangka libur sekolah. Sudah dua hari juga Nenek mendapati nasi tersisa di piring Ryza.
“Kenapa tidak dihabiskan, Za?” tanya Nenek.
“Ryza kenyang, Nek,” jawab Ryza santai.
Esoknya, Nenek melihat Ryza hendak membuang sisa nasi ke tong sampah.
“Jangan! Itu bisa dikasih ke ayam peliharaan Kakek,” cegah Nenek, “Sebaiknya makan itu harus dihabiskan. Sayang nasinya,” nasehat Nenek.
Ryza hanya mengangguk. Membuang sedikit nasi tentu tidak masalah. Pikir Ryza. Lagipula Ryza malas kalau harus menyendokkan nasi berulang-ulang ke piringnya. Lebih praktis mengambil sekaligus banyak.
“Ryza, ikut Kakek, yuk,” ajak Kakek.
Ternyata Kakek mengajak Ryza  melihat sawah milik Kakek. Kening Ryza berkerut.  Untuk apa Kakek membawanya kemari? Di depan Ryza ada seorang petani yang sedang membajak saawah.
“Kamu tahu apa yang dilakukan petani usai membajak sawah?” tanya Kakek.
Ryza berpikir sejenak, ”Menanam padi, Kek.”
Kakek menggeleng, “Setelah ini, sawah diari dan didiamkan seminggu, digaru lalu diulang kembali prosesnya dari membajak. Karenanya memakan waktu sampai dua minggu.”
Ryza mulai penasaran. “Supaya apa, Kek?”
“Menjegah tumbuhnya gulma,” jelas Kakek.
Lalu mereka berjalan lagi. Ryza sempat melihat dua orang petani sedang menanam padi sambil berjalan mundur. Tibalah mereka di hamparan sawah yang menguning. Kakek memetik satu bulir padi dan menaruhnya di telapak tangan Riza.
“Di dalamnya ada beras yang biasa dimasak Ibumu dan Nenek. Coba kamu buka!” perintah Kakek.
Ryza mencobanya. Ugh! Keras sekali. Ryza menyerah.
“Mari, Kakek tunjukkan caranya,” undang Kakek.
Mereka sampai di tempat dimana beberapa petani tengah memukul-mukul batang padi.
“Mereka sedang memisahkan gabah dari batangnya yang sebelumnya telah dijemur selama seminggu,” terang Kakek.
Ryza menelan ludah. Dia tidak mengira nasi yang dibuangnya harus melewati proses yang panjang.
“Setelah ini, sudah jadi beras, Kek?” tanya Ryza.
Kakek menggeleng. “Harus dikeringkan kembali baru digiling agar gabah benar-benar terpisah dari beras.”
“Itu pun harus dimasak dahulu baru bisa dimakan.” Ryza menunduk malu.  “Ternyata prosesnya panjang sekali, ya, Kek. Ryza baru tahu.”
Kakek memeluk bahu Ryza. “Karena itulah Kakek mengajakmu kemari, supaya kamu tahu bagaimana sulitnya menanam padi itu.”
“Padahal Ryza suka sekali membuang-buang nasi dan makanan-makanan lain,” sesal Ryza.
“Kamu tahu nama depanmu diambil darimana?” selidik Kakek.
Ryza tak mengerti maksud Kakek. “Oryza, Kek?”
“Diambil dari kata Oryza Sativa, itu nama latin dari tumbuhan padi, lho.” Kakek mengedipkan matanya.
Mata Ryza membulat, “Wah, keren! Mulai sekarang Ryza tidak akan membuang-buang nasi lagi, Kek.”
“Bagus! Kita memang harus menghargai kerja keras para petani.” Kakek mengacungkan jempolnya.
“Dan juga Nenek yang sudah memasaknya,” celetuk Ryza yang disambut dengan tawa Kakek. (vin)

Memanen Berry

Ini salah satu naskah dongeng favoritku. Pendek, hanya satu halaman di Majalah Bobo. Tapiii risetnya gak sependek itu. Begitulah, di balik kesederhanaan sebuah karya selalu ada kerja keras di baliknya *bijak-mode-on ^ ^
***



Memanen Berry

Musim panas tiba, waktunya memanenberry. Semua jenis berry akan berbuah serentak. Ladang berry menjadi berwarna dengan adanya strawberry, raspberry, blackberry, blueberry, cranberry, redberry, mulberry, bilberry, huckleberry dan elderberry.
“Aku tidak sabar menunggu datangnya besok. Buah berry apa yang akan aku petik?” ujar kurcaci Topsy.
“Aku akan memetik blueberry. Aku mau membuat kue tart dengan selai blueberry, pasti lezat,” sahut kurcaci Lipsy sambil memegang perutnya.
“Sudah lama aku tidak memakan kue pai raspberry, jadi besok aku akan memetik raspberry.” Kurcaci Belsy tak mau kalah.
Kurcaci Topsy masih memikirkanjenis buah berry apa yang akan dia petik besok. Setiap kurcaci ditugaskan untuk memetik satu jenis buah berry, karena waktu memetik yang hanya sehari. Dari tujuh keranjang penuh berisi buahberry, mereka boleh membawa pulang satu keranjang. Sisanya akan disimpan di dapur utama sebagai persediaan selama satu tahun bagi para kurcaci.
**
Denting lonceng berbunyi. Para kurcaci langsung memasuki ladang berry. Kurcaci Lipsy memetik blueberry dengan cekatan. Kurcaci Belsy bahkan telah mengumpulkan setengah keranjang raspberry.
“Aku bingung mau memetik apa, semua buah berry aku suka.” Kurcaci Topsy belum juga memetik.
“Cepat tentukan! Nanti kita dapat berbagi hasil panen kita,” sahut Kurcaci Popsy, tangannya terus bergerak memetik bilberry.
Ah, benar juga! Kurcaci Topsy memutuskan untuk memetik strawberry. Tapi belum juga keranjangnya penuh, dia sudah mengeluh. “Aduh, pinggangku sakit. Sebentar berjongkok, berdiri dan menunduk bergantian. Lebih baik aku memetik berry yang pohonnya tinggi.”
Kurcaci Topsy berlari menuju pohon mulberry. Baru sebentar saja, lagi-lagi dia mengeluh. “Lelah sekali berpindah dari dahan yang satu ke dahan yang lain sambil memegang keranjang. Aku turun saja.”
Kurcaci Topsy ganti memetik elderberry. ‘Aku tidak perlu memanjat,’ pikirnya. Semak belukar elderberry sangat lebat setinggi enam meter. Bisa ditebak, Kurcaci Topsy kembali mengeluh, “Uh, memetik elderberry ternyata sulit juga, yang lain saja!”
Sementara kurcaci Topsy baru mulai memetik cranberry, kurcaci Lipsy sudah berhasil memetik tujuh keranjang blueberry. Begitu juga dengan kurcaci Belsy, telapak tangannya sampai kemerahan karena raspberry.
Lonceng kembali berdenting, waktu memetik pun usai. Para kurcaci bertepuk tangan. Kurcaci Topsy hanya mendapat tiga keranjang cranberry. Selain waktunya habis, beberapa kurcaci lain sudah  duluan memetiknya. Dia pun pulang dengan tangan hampa.”Sudah lelah, tapi aku tidak mendapat apa-apa,” keluh kurcaci Topsy.

Kalau menurut kalian, apa yang salah dari kurcaci Topsy, ya?(Vin)

Ganjaran Untuk Kurcaci Polly




Ganjaran Untuk Kurcaci Polly
oleh: Vina Maria.A
Kurcaci Polly tersenyum puas menatap rumput di halaman rumah Kakek Thomas yang telah dipangkasnya.“Ah, akhirnyaselesai juga.”
Tiba-tiba, “Buk..,” sebuah apel jatuh tepat di depan kakinya. 
Polly mendongakan kepalanya ke atas.“Rupanya apel-apel Kakek Thomas sudah banyak yang matang.”
Menjelang makan siang, Kakek Thomas keluar, “Polly, ayo kita makan siang bersama.”
Kurcaci Polly menghampiri Kakek Thomas dengan sekeranjang penuh apel segar. “Ini aku bantu memetiknya, Kek. Apel-apel Kakek sudah banyak yang matang, sayang bila tidak segera dipetik.”
“Wah, terimakasih Polly. Aku memang hanya bisa memungut apel yang jatuh, walau kadang bentuknya sudah agak hancur.” Kakek Tobi terkekeh memamerkan deretan giginya yang masih utuh.
**
Keesokan harinya, kurcaci Polly betugas untuk membersihkan cerobong asap di rumahNenek Angela. Sesampainya di sana, Nenek Angela hendak pergi mengunjungi cucunya di desa sebelah.
“Kau datang tepat waktu, Polly. Bila kau sudah selesai, tolong kunci pintunya dan taruh kuncinya di balik keset. Mungkin aku pulang menjelang sore,” sahutNenekAngella.
Kurcaci Polly mengangguk, “Baik, Nek. Jangan khawatir.”
Begitu NenekAngella pergi, Polly bergegas membersihkan cerobong asap milik Nenek Angela. Jelaga-jelaga hitam mulai beterbangan, membuatmatanya pedih dan memerah. Polly pun kadang terbatuk-batuk. Tapi Polly tetap melakukan tugasnya.
Setelah cerobong asap bersih, Polly menyapu lantai yang menghitam akibat debu dari cerobong asap. Lantai kayu Nenek Angela pun dipelnya hingga mengkilat. Sebenarnya bisa saja Polly langsung pulang. Toh, tugasnya hanya untuk membersihkan cerobong asap. 
**
“Polly, kau bisa memberbaiki kursi goyangku yang patah?” Kurcaci Delly datang ke kediaman Polly sambil membawa kursi goyangnya yang rusak.
Kurcaci Polly mengangguk.“Tentu bisa.”
“Kalau begitu, aku akan mengambilnya minggu depan. Terima kasih, Polly.” Kurcaci Delly pun pamit.
Untung saja persediaan kayu milik kurcaci Polly masih banyak. Setelah sibuk mengukur, memotong, menghaluskan dan memaku, kursi goyang Kurcaci Delly pun selesai diperbaiki.
Polly mengoyang-goyangkannya untuk memastikan kekokohannya. “Sudah cukup kuat, sayang warnanya kusam. Oh, Kurcaci Delly menyukai warna biru,” pekik Polly senang. 
Polly mengambil kaleng cat warnab iru.
**
Sudah dua hari,tidak ada yang datang atau memanggil kurcaci Polly untuk mengerjakan sesuatu. Ah, mungkin besok ada pekerjaan untukku. Pikir Polly.
Ternyata keesokan harinya juga masih sama. Polly memutuskan untuk pergi. 
“Siapa tahu di jalan ada yang membutuhkanku,” ucap Polly pelan.
Polly melintas di depan rumah KurcaciTelly. Biasanya tiap satu minggu sekali, kurcaci Telly memintaku membersihkan kandang ayam.Mungkin kali ini dia lupa.
“Telly, apa kau membutuhkan bantuanku untuk membersihkan kandang ayam?” tanya Polly.
Kurcaci Telly menggeleng. “Tdak, Polly, terima kasih. Aku sudah membersihkannya sendiri.”
Walau kecewa, Polly tetap tersenyum lalu melanjutkan perjalanannya. Sampai di depan rumah Kakek Thomas, Polly tertegun melihat rerumputan yang telah rapi. 
“Siapa yang sudah memotong rumputnya?” tanya Polly.
Polly kembali menawarkan bantuan kepada siapa saja yang dijumpainya. Tapi tidak ada satupun yang membutuhkannya.
Polly duduk di bawah pohon Willow untuk beristirahat sejenak. Persediaan makanan di dapur sudah menipis. Begitu juga dengan minyak untuk lenteranya. Polly tidak bisa membayangkan bila besok belum juga ada pekerjaan untuknya.
Polly yang kelelahan sampai tertidur dan terbangun ketika hari sudah sore. 
“Ya, ampun, hari sudah sore, aku harus segera pulang.” Polly mengayunkan kakinya menuju ke rumah.
Tapik enapa di halaman depan rumahnya banyak sekali orang? Seperti ada pesta. Polly bertanya-tanya.
“Selamat Ulang Tahun, Polly,” seru teman-teman Polly. Rupanya mereka merancangkan pesta kejutan untuk Polly.
Polly sendiri sampai lupa dengan hari ulang tahunnya, karena sibuk mencari pekerjaan.
“Ini upah untuk membersihkan kandang ayamku, Polly.” Kurcaci Telly menyerahkan amplop berisi uang ke tanganTelly.
Begitu juga dengan Kakek Thomas.  “Ini upah untuk memotong rumputku.”
Polly bingung menerima itu semua. “Tapi bukan aku yang membersihkan kandang ayam dan memotongrumputnya.”
Kakek Thomas mengangguk, “Tiga hari ini kami sengaja memberimu waktu untukberistirahat.”
“Sebagai hadiah ulang tahun untukmu, Polly,” sahut Kurcaci Delly.
“Tapi ini berlebihan. Belum lagi pesta ulang tahunnya.” Mata Polly mulai berkaca-kaca.
Nenek Angella menggeleng, “Kamu pantas mendapatkan lebih, Polly.” 
“Karena kamu selalu melakukan lebih dari yang seharusnya. Kauingat dengan kursi goyangku yang berubah seperti baru?” pekik Kurcaci Delly.
“Juga lantai rumahku yang mengkilat?” tambah Nenek Angella.
“Jangan lupakan sekeranjang apel yang kau petik, Polly,” sahut Kakek Thomas.
Polly benar-benar tidak menyangka. Dia bertekad akan selalu melakukan yang terbaik. Lebih dari yang diperintahkan untuknya.(Vin)


Ayam Jahe

Huah..sudah lama sekali saya tidak menulis di blog. Bahkan cara masuk ke akun sendiri pun sampai lupa. ckckck..

Kali ini mau kembali posting naskah yang dimuat di Majalah. Ini naskah untuk rubrik 'Percikan' di majalah remaja 'GADIS'.. Dimuat di bulan Agustus 2016, setahun yang lalu. haha..

Saya ingat waktu itu saya baru bangun dari tidur siang, cek fb dan ada notif masuk. Nama saya dimensyen oleh mba Hairi Yanti, captionnya, "Mba Vina mau Ayam Jahe?". Saya yang masih setengah sadar bingung. Ayam Jahe adalah judul naskah percikan, tapi ini yang memberi tahu adalah ratunya Bobo (sudah banyak karnya mba Yanti di Bobo), masa sih saya kirim ke Bobo. Duh! Error pokoknya!
Kurang yakin juga karena naskah ini sudah lamaaaa sekali dikirimnya. Nyaris gak berani berharap. Akhirnya saya nanya, "Ini dimuat di Bobo, mba?". Mba Yanti jawab, "GADIS."
Whoaa. Langsung loncat-loncat seneng saya. Udahannya mikir, ya masa kirim ke GADIS terus dimuat di BOBO. Linglung...
***


AYAM JAHE

“Emm, enak banget, Sis! Kamu kok pintar membuat kue, sih? Belajar dari Ibumu, ya?” tanya Mala penasaran.
Siska mengangguk senang.
“Wah, ibumu sudah jago masak makanan berat, jago bikin kue juga. Bakat Ibumu nurun ke kamu tuh, Sis.” Mala kembali mencomot sepotong brownies.
Siska hanya tersenyum lalu menggigit brownies buatannya. Mala tidak tahu jika dia tidak bisa memasak menu utama. Ingin sih, belajar. Tapi dulu waktu Siska mengupas bawang merah, matanya berair terus-terusan dan pedih. Belum lagi dengan mengupas kunyit yang meninggalkan bekas kekuningan dan sulit hilang. Sekali-kalinya membantu Ibu menggoreng ikan, malah kecipratan minyak. Karena itu, Siska malas memasak hidangan utama. Lebih enak membuat kue, aman dari cidera. Pikirnya.
**
“Siska, hari minggu begini coba kamu bantuin Ibu memasak di dapur,” sahut Ayah tiba-tiba.
“Ayah, Siska kan sudah cukup mahir membuat aneka kue. Segala jenis kue basah seperti brownies, cheese cake sampai red velvet, Siska bisa. Kue kering, apalagi! Sudah cukup donk, Yah,” jawab Siska santai.
“Memang, Ayah akui kue buatan kamu uenaaakkk!” Ayah mengacungkan jempolnya. “Tapi paling tidak kamu bisa memasak lauk yang sederhana. Sop misalnya atau Ayam Jahe.”
“Oh, kalau itu mah gampang, Siska sudah bisa,” sahut Siska sesumbar.
“Serius kamu? Kebetulan tenggorokan Ayah sedikit gatal. Jadi hari ini Siska masakin Ayam Jahe buat Ayah, ya,” pinta Ayah senang.
Siska mengangguk. Ada Ibu, aku bisa tanya-tanya nantinya. Pikir Siska.
Tiba-tiba Ibu tergopoh-gopoh menghampiri Ayah.
“Ayah, Ibu pergi sebentar membesuk Bu Rini, barusan dapat kabar beliau kecelakaan Maaf, Ibu belum sempat memasak, nanti Ayah goreng telur saja, ya,” ucap Ibu.
“Tenang saja, Bu. Barusan Siska menyanggupi untuk memasakkan ayam jahe untuk Ayah. Bahan-bahannya ada semua, kan, Bu?” jawab Ayah.
“Kebetulan Ayam ada di kulkas, kalau bumbu dapur, sih, selalu komplit. Kamu yakin mau memasak, Sis?” tanya Ibu ragu.
Duh, bagaimana ini. Rutuk Siska dalam hati. Tapi gengsi ah, kalau batal. Hajar saja, masa si jago bikin kue nggak bisa masak makanan segampang Ayam Jahe.
“Yakin, Bu. Ibu tenang saja, serahkan pada chef Siska.”
**
Ayam sudah dikeluarkan dari freezer. Diambilnya baskom berisi air hangat, dimasukkan wadah ayam ke dalamnya. Beres. Sambil menunggu ayamnya lunak, siapkan bumbu dulu. Bumbu utama setiap masakan pasti bawang merah, bawang putih, garam dan merica. Karena namanya Ayam Jahe, pasti pake jahe! Tuh kan, aku bisa! Batin Siska senang.
Walauharus bolak-balik mengelap matanya dengan serbet dapur, akhirnya Siska berhasil mengiris si bawang merah. Bawang putih pun sudah digeprek dan dicacah halus. Tinggal mengiris jahe. Yang mana jahe? Duh, Siska bingung. Aha! Jahe berwarna putih dan baunya “sreng”. Tersisa dua macam bumbu dapur yang bercirikan seperti itu. Siska mengambil salah satunya.
Waktunya memasak. Bumbu-bumbu ditumis sampai harum, lalu masukkan rebusan ayam dan tambahkan garam dan merica. Tunggu sampai matang dan bumbu meresap. 
**
“Bagaimana, Yah?” 
Siska yakin Ayah akan memuji hasil masakannya. Bahan dan bumbu pas, nggak usah dicicipi juga sudah ketahuan enak.
“Ngg, kamu sudah mencobanya , Sis?” tanya Ayah
Siska menggeleng. 
“Ini apa bulat-bulat?”
“Itu merica, Yah,” jawab Siska polos.
“Ya ampun, merica yang masih bulat harus kamu haluskan dulu, Sis! Dan lagipula ini rasanya bukan Ayam Jahe, tapi Ayam Kencur.” Kamu malah memasukkan kencur, bukannya jahe!”
Olala….(selesai)