Perjalanan naskah kali ini cukup panjang. Berawal dari mengikuti seleksi RtR yang saat itu salah satu temanya adalah makanan traditional. Lalu saya menghubungi seorang teman dan mengadakan wawancara kecil-kecilan seputar masakan khas buatan Ibunda beliau. Eh, saya gak lolos :p
Terus saya rombak naskah tersebiut dan disesuaikan dengan kriteria Majalah Bobo. Kebetulan saat itu di grup BAW sedang berlangsung kelas anak, saya setor deh, sembari meminta krisan dari teman-teman (Terima kasih buat krisannya ^ ^)
Dan ternyata jodohn si naskah dengan Kelinci Biru ;)
**
Masakan Misterius Ibu
Oleh:
Vina Maria. A
Ini aneh.
Kak Mala dan Tuti berpandangan. Ibu bilang, Ibu mau memetik buah nangka di
kebun belakang. Hidung Mala sudah tak sabar mencium aroma nangka yang menggoda.
Tuti sejak tadi sudah menahan air liurnya setiap membayangkan potongan nangka
yang manis.
“Bu,
itu nangkanya belum matang.” Mala menunjuk buah nangka berukuran di tangan Ibu.
“Ibu
nggak salah petik,” Tuti menambahi.
Ibu
menggeleng sambil tersenyum misterius. Setelah menaruh buah nangka di dapur, Ibu
malah pergi melalui pintu belakang.
Bukannya
Ibu sudah berbelanja di pasar? Ibu mau kemana lagi? Kak Mala dan Tuti yang
penasaran, akhirnya mengekori Ibu. Mereka melewati sawah. Kaki Ibu melangkah
gesit meniti pematang sawah. Tibalah mereka di sebuah kebun Pohon Jati. Batang
pohon Jati, kurus dan tinggi. Ibu memetik beberapa helai daun jati yang masih
muda.
Tuti
menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan. Kakaknya Mala hanya mengedikkan
bahunya.
Sampai
di rumah, Ibu segera mencuci daun-daun Jati tadi. “Mala, tolong keluarkan batok
kelapa dari keranjang belanjaan Ibu. Sekalian dicuci bersih, ya,” pinta Ibu.
Batok
kelapa? Untuk apa? Tapi Mala tetap melakukan perintah Ibu.
Tangan
Ibu dengan lincah mengupasi buah nangka. Tuti mengamati potongan-potongan
nangka yang berwarna putih. Iih, mana enak. Pikirnya.
“Bu.
Ada apa, sih, Bu? Hari ini, Ibu aneh.” Tuti tak tahan untuk berkomentar.
Ibu
tidak marah, malah tertawa. Lalu terdiam dan menghela napas, “Sebenarnya hari
ini Ibu kangen sama Nenek.”
Jawaban Ibu juga aneh.
Jawaban Ibu juga aneh.
“Mala,
nanti kamu susun batok kelapa di dasar panci, ya.” Ibu kembali menyuruh Mala.
“Memangnya
batok kelapa bisa dimakan, Bu? tanya Tuti heran.
Ibu
tergelak mendengarnya, “Nanti kalian juga akan tahu. Sekarang, Tuti bantu Ibu
mencuci potongan-potongan nangka lalu kamu masukkan ke dalam panci yang beralas
batok kelapa tadi.”
Ibu
lalu menambahi air santan ke dalam panci beserta bumbu-bumbu yang telah
dihaluskan. Sebelum panci ditutup, Ibu menaruh beberapa helai daun jati.
Ibu
mengatur kenop kompor minyak tanah, hingga api kompor mengecil. “Sekarang kita
tunggu dua jam.”
“Kenapa tidak pakai kompor gas saja, Bu. Lebih cepat, tidak perlu menunggu dua jam,” usul Mala.
“Kenapa tidak pakai kompor gas saja, Bu. Lebih cepat, tidak perlu menunggu dua jam,” usul Mala.
Ibu
menggeleng, “Dulu Nenek malah memasak di atas tungku dan rasanya memang jadi
lebih enak.”
“Kak
Mala mau memakan masakan Ibu tadi?” Tuti
langsung menyembur Kakaknya begitu mereka memasuki kamar.
“Sst..,
pelan-pelan! Nanti Ibu dengar.” Kak Mala menempelkan jari telunjuk di mulutnya.
“Kakak juga ragu. Tapi selama ini masakan Ibu selalu enak. Kita coba saja
dulu.”
Tuti
mengangguk setuju.
Dua
jam berlalu. Kak Mala dan Tuti bergegas ke dapur.
“Belum
boleh dibuka!” larang Ibu.
Ya
ampun! Sebenarnya Ibu memasak apa, sih?
**
Besoknya,
sepulang dari sekolah, Mala dan Tuti mencium aroma harum dari arah dapur. Panci
yang sama masih ada di atas kompor minyak yang baru dimatikan Ibu. Uap panas
tipis keluar dari sela-sela panci membawa aroma sedap di sekeliling dapur.
Perut Mala dan Tuti semakin meronta-ronta minta diisi.
“Ada
sayur bayam dan tahu goreng di meja makan. Jangan lupa ganti baju dulu.” Kali ini Ibu belum juga
membuka panci itu.
“Kak,
aku makin penasaran sama masakan Ibu. Sudah dua hari tapi belum matang juga!”
keluh Tuti.
Kak
Mala yang telah selesai berganti baju tampak berpikir, “Oh, mungkin karena
batok kelapa yang keras, jadi butuh waktu lama untuk matang.”
“Hmm,
benar juga, ya, Kak.” Tuti mengangguk-angguk.
**
Besoknya,
saat makan malam, sudah tersedia aneka hidangan di meja makan. Kak Mala dan
Tuti hanya tahu Opor Ayam dan Tempe Bacem, yang lain tidak tahu namanya.
“Ini
apa, Bu?” Mala menunjuk mangkuk yang berisi makanan berbentuk kotak-kotak.
“Itu
namanya Sambal Goreng Krecek,” jawab Ibu.
“Itu
kesukaan Bapak. Pasangannya Gudeg,” sela Bapak.
“Gudeg?”
tanya Kak Mala dan Tuti bersamaan.
Ibu
menunjuk semangkuk hidangan lain, “Ini yang Ibu masak kemarin.”
Kak Mala dan Tuti yang penasaran segera menyendokkan Gudeg ke atas piring masing-masing.
Kak Mala dan Tuti yang penasaran segera menyendokkan Gudeg ke atas piring masing-masing.
“Lho,
mana batok kelapanya, Bu?” tanya Tuti.
“Daun
Jatinya?” Mala ikut bertanya.
Bukannya
menjawab, Bapak dan Ibu malah tertawa.
“Batuk
Kelapa gunanya agar Gudeg tidak gosong. Sedangkan Daun Jati membuat warna
Gudeng menjadi cantik kecoklatan,” jelas Ibu panjang lebar.
Giliran
Kak Mala dan Tuti yang tertawa.
“Hmm,
rasanya enak.” Kak Mala dan Tuti makan
dengan lahap.
“Nenek
yang mengajarkan Ibu memasak Gudeg. Gudeg buatan Nenek malah lebih enak lagi,”
cerita Ibu.
“Bagaimana
jika besok kita ziarah ke makam Nenek?” usul Bapak.
“Setuju,
Pak!” seru Kak Mala juga Tuti.
Ibu
mengangguk senang. (vin)