Kamis, 06 Juli 2017

Ryza dan Nasi

Kangen dimuat di Nubi. Jadi langsung membulatkan tekad untuk menulis. Waktu itu temanya tentang 'menghargai'. Belum ada ide langsung nangkring di depan lepi. Tangan meraba-raba buku apa saja untuk memantik ide. Dapat buku peajaran anak. hehe..
Dan lahirlah cerita ini. Puji Tuhan langsung dimuat.
Yah, kadang kita memang harus memaksa kita untuk tetap menulis. Seorang penulis..bahkan banyak penulis pernah berkata kalau menulis itu bukan bergantung pada mood. Setuju, kan?! ;)
**

Ryza dan Nasi 

Sudah dua hari Ryza menginap di rumah Kakek dan Nenek, di Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat dalam rangka libur sekolah. Sudah dua hari juga Nenek mendapati nasi tersisa di piring Ryza.
“Kenapa tidak dihabiskan, Za?” tanya Nenek.
“Ryza kenyang, Nek,” jawab Ryza santai.
Esoknya, Nenek melihat Ryza hendak membuang sisa nasi ke tong sampah.
“Jangan! Itu bisa dikasih ke ayam peliharaan Kakek,” cegah Nenek, “Sebaiknya makan itu harus dihabiskan. Sayang nasinya,” nasehat Nenek.
Ryza hanya mengangguk. Membuang sedikit nasi tentu tidak masalah. Pikir Ryza. Lagipula Ryza malas kalau harus menyendokkan nasi berulang-ulang ke piringnya. Lebih praktis mengambil sekaligus banyak.
“Ryza, ikut Kakek, yuk,” ajak Kakek.
Ternyata Kakek mengajak Ryza  melihat sawah milik Kakek. Kening Ryza berkerut.  Untuk apa Kakek membawanya kemari? Di depan Ryza ada seorang petani yang sedang membajak saawah.
“Kamu tahu apa yang dilakukan petani usai membajak sawah?” tanya Kakek.
Ryza berpikir sejenak, ”Menanam padi, Kek.”
Kakek menggeleng, “Setelah ini, sawah diari dan didiamkan seminggu, digaru lalu diulang kembali prosesnya dari membajak. Karenanya memakan waktu sampai dua minggu.”
Ryza mulai penasaran. “Supaya apa, Kek?”
“Menjegah tumbuhnya gulma,” jelas Kakek.
Lalu mereka berjalan lagi. Ryza sempat melihat dua orang petani sedang menanam padi sambil berjalan mundur. Tibalah mereka di hamparan sawah yang menguning. Kakek memetik satu bulir padi dan menaruhnya di telapak tangan Riza.
“Di dalamnya ada beras yang biasa dimasak Ibumu dan Nenek. Coba kamu buka!” perintah Kakek.
Ryza mencobanya. Ugh! Keras sekali. Ryza menyerah.
“Mari, Kakek tunjukkan caranya,” undang Kakek.
Mereka sampai di tempat dimana beberapa petani tengah memukul-mukul batang padi.
“Mereka sedang memisahkan gabah dari batangnya yang sebelumnya telah dijemur selama seminggu,” terang Kakek.
Ryza menelan ludah. Dia tidak mengira nasi yang dibuangnya harus melewati proses yang panjang.
“Setelah ini, sudah jadi beras, Kek?” tanya Ryza.
Kakek menggeleng. “Harus dikeringkan kembali baru digiling agar gabah benar-benar terpisah dari beras.”
“Itu pun harus dimasak dahulu baru bisa dimakan.” Ryza menunduk malu.  “Ternyata prosesnya panjang sekali, ya, Kek. Ryza baru tahu.”
Kakek memeluk bahu Ryza. “Karena itulah Kakek mengajakmu kemari, supaya kamu tahu bagaimana sulitnya menanam padi itu.”
“Padahal Ryza suka sekali membuang-buang nasi dan makanan-makanan lain,” sesal Ryza.
“Kamu tahu nama depanmu diambil darimana?” selidik Kakek.
Ryza tak mengerti maksud Kakek. “Oryza, Kek?”
“Diambil dari kata Oryza Sativa, itu nama latin dari tumbuhan padi, lho.” Kakek mengedipkan matanya.
Mata Ryza membulat, “Wah, keren! Mulai sekarang Ryza tidak akan membuang-buang nasi lagi, Kek.”
“Bagus! Kita memang harus menghargai kerja keras para petani.” Kakek mengacungkan jempolnya.
“Dan juga Nenek yang sudah memasaknya,” celetuk Ryza yang disambut dengan tawa Kakek. (vin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar