Kamis, 06 Juli 2017

Aling dan Semangkuk Bubur

Cerpen ini hasil dari Kelas Merah Jambu di bawah asuhan Bu Nurhayati Pujiastuti. Waktu itu Bu Guru mengajarkan bahwa menulis itu juga bisa dijadikan terapi. Saat kita sedih, galau ataupun bermuram durja, kita tuangkan saja pada cerpen.

Terus terang saja, saya agak kesulitan waktu itu. Hmm, mungkin karena saya bukan orang yang mudah bercerita saat ada masalah, ya. Terbukanya pas masalah udah kelar. Eh, itu dulu lhoo.. Sekarang sih, saya jauh lebih open. hehe..

Dan cerpen ini mengalami revisi bolak-balik. Gak sekali dua kali. Giliran sudah oke, Bu Guru kembali meminta untuk ditulis ulang karena nyawanya hilang. Duh! Apa pula itu. Sebagai murid saya pun manut.

Makanya saat tahu cerpen ini dimuat, rasanya hepiii. Dan kenangan di belakang layar pun kembali muncul.
***

Aling dan Semangkuk Bubur
Oleh :Vina Maria A

     “Brak!!” Aling membanting pintu kamarnya. Aling merasa kesal karena nilai ulangan matematikanya hanya mendapat 8,5. Padahal itu merupakan nilai tertinggi di kelas, karena soal-soalnya memang sulit. Namun, tetap saja Aling menjadi kepikiran sepanjang sisa hari itu.
     “Ah, lebih baik aku  membaca komik saja.” Aling mencoba untu kmenenangkan hatinya. “Lho, mana komik ‘HaiMiiko, edisi 28? Pasti dipinjam Acong.” Aling bergegas menuju kamar adiknya itu.
     Di sana dilihatnya  Acong sedang membaca komik yang dicarinya.
     “Acong, kembalikan komik Cici! Aling berkata dengan nyaring.
      “Lho, Cici, kan sudah selesai membacanya kemarin?” tanya Acong heran.
     Aling mendekati Acong dan serta merta merebut komik tersebut dari tangan Acong sambil berteriak, “Kembalikan! Cici mau baca!”
     Acong yang kaget dengan perlakuan Aling menjad ikesal. “Cici, kenapa, sih? Kan, bisa minta baik-baik, tidak perlu marah-marah!”
     Namun Aling tidak mempedulikan Acong. 
**
     Besoknya,  Aling sudah melupakan kekesalannya. Apalagi hari ini Aling mendapat nilai 10 untuk ulangan IPA. Aling memang mudah marah untuk hal kecil yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Tapi Aling juga dengan mudah melupakan kekesalannya itu. Sampai di rumah, Acong pun disapanya dengan ramah.
     “Acong, kita makan siang bareng, yuk!” ajak Aling.
     Acong yang masih kesal hanya melengos dan pergi meninggalkan Aling.
     “Ih,  cuma begitu saja masih ngambek. Ya sudah, aku makan sendiri,” gerutu Aling.
     Sehabis makan,  Aling tidur siang sebentar, lalu bersiap-siap untuk latihan Pramuka di sekolah.
**
     Lagi-lagi Aling cemberut, karena kelompoknya kalah cepat dalam membuat tandu menggunakan tongkat dan tali Pramuka. Ini gara-gara Pinkan yang gerakannya lamban!
     Aling  menyalahkan Pinkan. “Kamu lamban, sih. Kelompok kita jadi kalah!”    
     “Maaf Ling, tadi ad asimpul yang salah, aku harus mengulangnya kembali,” Pinkan merasa tidak enak pada Aling.
     “Sudahlah Ling, kelompok kita kan menang dalam lomba menebak sandi Morse dan Semapur. Kita masih lebih unggul, kok,” Raya mencoba menenangkan Aling.
     Bukannya tenang, Aling malah bertambah sewot, “Itu karena aku yang lebih banyak menjawab! Coba kalau aku juga yang membuat tandunya!”
     “Ya sudah, kamu keluar saja dari kelompok! Kamu tidak membutuhkan kami kan!” Pinkan tiba-tiba berteriak pada Aling. Wajahnya memerah dan napasnya menderu karena kesal.
     Alih-alih meminta maaf, Aling malah memukul tongkat Pramuka miliknya ke tanah dan pergi begitu saja.
**
Esok pagi, begitu tiba di sekolah, Aling melihat Pinkan yang baru saja turun dari angkot. Tanpa ragu dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin sore, Aling menghampiri Pinkan, “Hai, Pinkan.”
     Begitu melihat Aling, Pinkan langsung membuang muka dan mempercepat langkahnya. Aling yang selalu marah untuk hal-hal sepele. Ketika kalah main lompat karet, kalah tipis dalam gobak sodor, nilai kerja kelompok yang tidak sempurna dan masih banyak lagi. Puncaknya pada latihan Pramuka kemarin.
**
     Baru kali ini Aling merasa kesepian. Pasalnya sudah tiga hari Pinkan dan Raya mendiamkannya. Teman-teman yang lain juga hanya menjawab sekadarnya. Di rumah, Acong ikut-ikutan genjatan senjata. Sudah dirayu dengan coklat kesukaannya juga tidak mempan. Aling jadi bingung, karena mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Padahal kejadiannya sudah berlalu, apa susahnya sih, melupakan begitu saja. Pikir Aling.
     Bosan di rumah, Aling pun memutuskan pergi ke rumahAkong yang adalah kakek Aling. Sampai di sana, dilihatnya  Akong sedang memasak.
     “Wah, rupanya Akong sedang memasak bubur. Aling mau,” pinta Aling.                             
     Akong mengangguk-angguk senang.
     “Bubur itu terbuat dari nasi, ya, Kong?” tanya Aling.
     “Dari beras juga bisa, tapi proses memasaknya lebih lama. Mangkanya ada peribahasa Nasi Sudah Menjadi Bubur, bukan Beras Sudah Menjadi Bubur,” Akong terkekeh geli.
     “Berarti bubur tidak bisa kembali menjadi nasi, kan, Kong?” tanya Aling lagi.
     Akong mengiyakan, “Berarti sesuatu yang sudah terlanjur terjadi tidak dapat dirubah lagi. Karena itu, Aling harus hati-hati dalam bertindak danb erkata-kata.”
     Aling jadi teringat Acong dan Pinkan yang kena amarahnya. Pasti mereka tidak suka kena omelan Aling. Seharusnya aku tidak marah untuk hal-hal yang sepele. Aling mulai mengerti.
     Dilihatnya Akong menambahkan kecap asin, cakwe dan kerupuk ke dalam semangkuk bubur. Bubur memang tidak bisa kembali menjadi nasi, tapi bisa ditambah bahan pelengkap supaya menjadi bubur yang enak. Kesalahannya memang sudah terlanjur, tapi Aling tidak mau membiarkannya. Aling beranjak pulang, dia harus minta maaf dengan tulus pada Acong, Pinkan juga Raya. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.

     “Aling, ini buburnya!” teriak Akong yang heran melihat Aling tiba-tiba saja pergi. (vin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar