Terus terang saja, saya agak kesulitan waktu itu. Hmm, mungkin karena saya bukan orang yang mudah bercerita saat ada masalah, ya. Terbukanya pas masalah udah kelar. Eh, itu dulu lhoo.. Sekarang sih, saya jauh lebih open. hehe..
Dan cerpen ini mengalami revisi bolak-balik. Gak sekali dua kali. Giliran sudah oke, Bu Guru kembali meminta untuk ditulis ulang karena nyawanya hilang. Duh! Apa pula itu. Sebagai murid saya pun manut.
Makanya saat tahu cerpen ini dimuat, rasanya hepiii. Dan kenangan di belakang layar pun kembali muncul.
***
Oleh :Vina Maria A
“Brak!!”
Aling membanting pintu kamarnya. Aling merasa kesal karena nilai ulangan matematikanya
hanya mendapat 8,5. Padahal itu merupakan nilai tertinggi di kelas, karena soal-soalnya
memang sulit. Namun, tetap saja Aling menjadi kepikiran sepanjang sisa hari itu.
“Ah,
lebih baik aku membaca komik saja.” Aling
mencoba untu kmenenangkan hatinya. “Lho, mana komik ‘HaiMiiko, edisi 28? Pasti dipinjam
Acong.” Aling bergegas menuju kamar adiknya itu.
Di
sana dilihatnya Acong sedang membaca komik
yang dicarinya.
“Acong, kembalikan komik Cici! Aling berkata
dengan nyaring.
“Lho, Cici, kan sudah selesai membacanya kemarin?”
tanya Acong heran.
Aling mendekati Acong dan serta merta merebut
komik tersebut dari tangan Acong sambil berteriak, “Kembalikan! Cici mau baca!”
Acong yang kaget dengan perlakuan Aling menjad
ikesal. “Cici, kenapa, sih? Kan, bisa minta baik-baik, tidak perlu marah-marah!”
Namun Aling tidak mempedulikan Acong.
**
Besoknya,
Aling sudah melupakan kekesalannya. Apalagi hari ini Aling mendapat nilai
10 untuk ulangan IPA. Aling memang mudah marah untuk hal kecil yang tidak berjalan
sesuai keinginannya. Tapi Aling juga dengan mudah melupakan kekesalannya itu. Sampai
di rumah, Acong pun disapanya dengan ramah.
“Acong, kita makan siang bareng, yuk!”
ajak Aling.
Acong yang masih kesal hanya melengos dan pergi
meninggalkan Aling.
“Ih, cuma begitu saja masih ngambek. Ya sudah, aku makan
sendiri,” gerutu Aling.
Sehabis makan, Aling tidur siang sebentar, lalu bersiap-siap
untuk latihan Pramuka di sekolah.
**
Lagi-lagi Aling cemberut, karena kelompoknya
kalah cepat dalam membuat tandu menggunakan tongkat dan tali Pramuka. Ini gara-gara
Pinkan yang gerakannya lamban!
Aling
menyalahkan Pinkan. “Kamu lamban, sih. Kelompok kita jadi kalah!”
“Maaf Ling, tadi ad asimpul yang salah,
aku harus mengulangnya kembali,” Pinkan merasa tidak enak pada Aling.
“Sudahlah Ling, kelompok kita kan menang dalam
lomba menebak sandi Morse dan Semapur. Kita masih lebih unggul, kok,” Raya
mencoba menenangkan Aling.
Bukannya tenang, Aling malah bertambah sewot,
“Itu karena aku yang lebih banyak menjawab! Coba kalau aku juga yang membuat
tandunya!”
“Ya sudah, kamu keluar saja dari kelompok!
Kamu tidak membutuhkan kami kan!” Pinkan tiba-tiba berteriak pada Aling. Wajahnya
memerah dan napasnya menderu karena kesal.
Alih-alih meminta maaf, Aling malah memukul
tongkat Pramuka miliknya ke tanah dan pergi begitu saja.
**
Esok
pagi, begitu tiba di sekolah, Aling melihat Pinkan yang baru saja turun dari angkot.
Tanpa ragu dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin sore, Aling menghampiri
Pinkan, “Hai, Pinkan.”
Begitu melihat Aling, Pinkan langsung membuang
muka dan mempercepat langkahnya. Aling yang selalu marah untuk hal-hal sepele.
Ketika kalah main lompat karet, kalah tipis dalam gobak sodor, nilai kerja kelompok
yang tidak sempurna dan masih banyak lagi. Puncaknya pada latihan Pramuka kemarin.
**
Baru kali ini Aling merasa kesepian. Pasalnya
sudah tiga hari Pinkan dan Raya mendiamkannya. Teman-teman yang lain juga hanya
menjawab sekadarnya. Di rumah, Acong ikut-ikutan genjatan senjata. Sudah dirayu
dengan coklat kesukaannya juga tidak mempan. Aling jadi bingung, karena mereka tidak
pernah seperti ini sebelumnya. Padahal kejadiannya sudah berlalu, apa susahnya sih,
melupakan begitu saja. Pikir Aling.
Bosan di rumah, Aling pun memutuskan pergi
ke rumahAkong yang adalah kakek Aling. Sampai di sana, dilihatnya Akong sedang memasak.
“Wah, rupanya Akong sedang memasak bubur. Aling
mau,” pinta Aling.
Akong mengangguk-angguk senang.
“Bubur itu terbuat dari nasi, ya, Kong?” tanya
Aling.
“Dari beras juga bisa, tapi proses
memasaknya lebih lama. Mangkanya ada peribahasa Nasi Sudah Menjadi Bubur, bukan
Beras Sudah Menjadi Bubur,” Akong terkekeh geli.
“Berarti bubur tidak bisa kembali menjadi nasi,
kan, Kong?” tanya Aling lagi.
Akong mengiyakan, “Berarti sesuatu yang
sudah terlanjur terjadi tidak dapat dirubah lagi. Karena itu, Aling harus hati-hati
dalam bertindak danb erkata-kata.”
Aling jadi teringat Acong dan Pinkan yang
kena amarahnya. Pasti mereka tidak suka kena omelan Aling. Seharusnya aku tidak
marah untuk hal-hal yang sepele. Aling mulai mengerti.
Dilihatnya Akong menambahkan kecap asin,
cakwe dan kerupuk ke dalam semangkuk bubur. Bubur memang tidak bisa kembali menjadi
nasi, tapi bisa ditambah bahan pelengkap supaya menjadi bubur yang enak. Kesalahannya
memang sudah terlanjur, tapi Aling tidak mau membiarkannya. Aling beranjak pulang,
dia harus minta maaf dengan tulus pada Acong, Pinkan juga Raya. Hal yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya.
“Aling, ini buburnya!” teriak Akong yang
heran melihat Aling tiba-tiba saja pergi. (vin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar